BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Prinsip-Prinsip
Fiqh
Al Qur’an sebagai dasar agama Islam memuat beberapa macam perilaku
orang mukallaf. Pertama: perilaku vertikal yaitu urusan manusia dengan Tuhannya
(Ibadah), kedua: perilaku horisontal yaitu urusan manusia dengan manusia
(Mu’amalah). Maka, fiqh sebagai produk dari Al-Quran ikut serta mengatur
perilaku-perilaku tersebut.
Kaidah atau prinsip-prinsip
dalam fiqh menghimpun seluruh persoalan fiqh. Menurut Imam An-Nadwi
prinsip-prinsip fiqh adalah dasar-dasar fiqh yang mencakup berbagai hukum-hukum
syari'ah dari berbagai bab pembahasan fiqh. Dengan berlandasan pada Al Quran
dan As Sunnah, maka lahirlah lima prinsip universal yang menjadi rujukan
permasalahan-permasalahan Fiqh ( baik Fiqh Ibadah maupun Muamalah ). Imam As Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah wannadzoir menyebutkan: agama islam dibangun atas lima
dasar/asas, maka fiqhpun dibangun atas lima dasar, yaitu:
1.
الْأُمُور بِمَقَاصِدِهَا (segala sesuatu tergantung pada niatnya).
Dasar kaidah:
·
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآَخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا
Artinya: Barang siapa menghendaki
pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.
·
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: segala
perbuatan tergantung pada niat.
Menurut
As-Suyuthi, kaidah fiqh ini masuk dalam berbagai persoalan fiqh; baik fiqh
ibadah, maupun mu'amalah.
·
Contoh dalam fiqh ibadah: Seseorang yang
melakukan shalat dua raka'at misalnya, maka perbuatan shalat tersebut
tergantung pada niat di dalam hatinya; apakah untuk shalat fardhu; atau sunnah;
qashar atau penuh, sunnah tertentu atau sunnah muthlak. Semua tergantung pada
niat yang ada di hati pelaku.
·
Contoh dalam persoalan mu'amalah: Seseorang
yang mengarnbil barang temuan. Jika ia mengambil dengan niat menyimpannya untuk
dicarikan pemiliknya dan dikembalikan kepadanya, maka berlaku `yad al-amanah' atau penguasaan karena
kepercayaan. Sehingga, jika terjadi kerusakan pada barang tersebut yang tidak
ia sengaja, maka tidak diminta menanggung kerusakan tersebut. Tetapi jika niat
mengambilnya untuk memiliki, maka yang berlaku adalah `yad adh-dhaman' atau penguasaan yang harus ditanggung. Sehingga,
ia berkewajiban untuk menanggung segala kerusakan yang terjadi pada barang
yang diambilnya, apapun sebab yang menimbulkan kerusakan tersebut.
2.الْيَقِين لَا يُزَال بِالشَّكِّ( keyakinan tidak bisa
dihilangkan sebab keraguan).
Dasar kaidah ini:
·
إن الشيطان ليأتى أحدكم وهو فى صلاته فيأخذ بشعرة من دبره
فيمدها فيرى أنه أحدث فلا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا
Artinya: Sesungguhnya setan akan mendatangi salah satu kalian dalam sholatnya. Kemudian setan mengambil rambut dari duburnya (musholli) dan memanjangkannya, sehingga ia
melihat bahwa dirinya berhadats. Maka janganlah berpaling, sampai mendengar
suara atau menemukan bau.
Contoh dalam permasalahan ibadah:
·
Apabila seseorang meyakini dirinya dalam keadaan suci, kemudian
muncul keraguan bahwa dirinya berhadats, maka ia dalam keadaan suci.
·
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah mencapai tiga atau
empat rokaat, maka tiga rokaat yang dianggap karena lebih diyakini
Contoh dalam permasalahan muamalah:
·
Seorang penjual mobil menyatakan kepada pembeli bahwa mobil yang
dijualnya dalam kondisi yang baik, kemudian si pembeli membelinya. Di lain hari pembeli komplin
dan menyatakan bahwa terdapat cacat pada mobil tersebut. Maka, ucapan yang
dibenarkan adalah ucapan si penjual.
3.
الْمَشَقَّة تَجْلِب التَّيْسِير ( masyaqqot / kesulitan menarik
kemudahan). Dasar kaidah:
·
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu
·
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya:
Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
·
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Artinya: Rosulullah SAW
bersabda “Aku diutus dengan membawa agama yang mudah“
Contoh dalam masalah
ibadah:
·
Seseorang yang tidak mampu melaksanakan sholat fardlu dengan
berdiri, maka ia diperbolehkan melakukannya dengan duduk. Jika tidak bisa, maka
boleh dengan tidur miring dan seterusnya.
·
Jika tidak menemukan air untuk dipakai berwudlu’, atau kesulitan
menggunakan air sebab sakit, maka boleh mengganti wudlu’ dengan tayammum.
Contoh dalam mu’amalah:
·
Jika seorang perempuan yang tengah melaksanakan perjalanan, dan ia
tidak menemukan wali untuk menikahkannya, maka ia boleh menentukan orang
laki-laki sebagai walinya.
4.
الضَّرَر يُزَال ( madlarrat
harus dihilangkan ). Dasar kaidah:
·
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
·
قَوْله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { لَا ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ }
Artinya: Tak
berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain).
Contoh dalam ibadah:
·
Ketika seseorang ingin pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat
jum’at, sementara di jalan ada perampokan dan dikhawatirkan keselamatannya,
maka diperbolehkan baginya untuk sholat di rumah.
Contoh dalam muamalah:
·
Seorang pembeli boleh melaksanakan khiyar sebab ditemukannya cacat
pada barang yang dijual
·
Boleh bagi laki-laki maupun perempuan untuk merusak pernikahan
sebab adanya cacat
5.
الْعَادَة مُحَكَّمَةٌ ( kebiasaan bisa dijadikan hukum ). Dasar
kaidah:
·
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ
الْجَاهِلِينَ
Artinya:Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh.
·
لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { مَا
رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ }
Artinya: segala hal
yang dipandang baik oleh orang muslim, maka disisi Allahpun baik.
Contoh dalam ibadah:
·
Ketentuan minimal dan maksimalnya masa haid, nifas bagi perempuan
tergantung pada kebiasaan.
Contoh dalam muamalah:
·
Pembayaran makanan dilakukan setelah selesai makan.
·
Penggunaan ATM dalam bertransaksi.
Lima prinsip diatas merupakan prinsip pokok bagi fiqh
baik ibadah maupun mu’amalah. Jika kita ambil garis besar dari prinsip diatas,
maka bisa kita fahami bahwa masing-masing fiqh ibadah maupun mu’amalah memiliki
prinsip dan karakteristik yang berbeda.
2.1.1 Prinsip Fiqh
Ibadah
Fiqh ibadah mempunyai beberapa prinsip tersendiri yang
membedakannya dari fiqh mu’amalah, prinsip-prinsip tersebut yaitu:
1) الأصل في
العبادات التعبد
Prinsip dasar
ibadah adalah ta'abbud (penghambaan kepada Allah). Dalam arti menjalankan
perintah dan menjahui larangan Allah apa adanya tanpa mempertanyakan illat, hikmah dan maslahahnya.
Allah SWT berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepadaku.
Segala sesuatu yang diperintah maupun dilarang Allah,
pasti mengandung nilai kemaslahatan bagi hambaNya. Contoh:
·
Larangan Allah berupa makan babi.
Ilmu kedokteran mengetahui bahwa
ada resiko besar atas banyak macam penyakit. Babi diketahui sebagai inang dari
banyak macam parasit dan penyakit berbahaya.
·
Larangan berzina. Perzinahan menyebabkan perwalian anak tidak bisa
mengikuti pada ayahnya. Dan hal ini akan berdampak pada kehidupan sosialnya.
·
Perintah Allah untuk melaksanakan sholat tahajjud. Waktu malam
hari adalah salah satu waktu dikabulkannya doa.
إِنَّ مِنَ
اللَّيْلِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللّهَ خَيْرًا
اِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
Selain itu tahajjud memiliki energi positif bagi daya tahan tubuh
seseorang, seperti: Tahajjud mencegah pembekuan lemak, mencegah penyakit mata
dll.
2) إن الله لا يعبد
إلا بما شرع
Ibadah kepada Allah harus dengan bentuk dan
tata-cara yang ditetapkan dan ditentukan oleh Allah sendiri. Amal ibadah dengan
tata-cara dan bentuk dari hasil kreasi manusia adalah bid’ah.
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ - رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ)
رواه البخاري ومسلم، وفي رواية لمسلم
(مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)
Setiap ibadah yang kita lakukan harus
berdasarkan pada Al Quran, As Sunnah. Ijma’ maupun Qiyas. Ketika turun perintah
sholat didalam Al Qur’an, dan al Quran tidak menyebutkan tata cara
pelaksanaannya, maka As Sunnahlah yang berperan dalam memberi penjelasan
mengenai hal tersebut. Sesuai sabda Nabi:
“Sholatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat”.
3) العبرة في
العبادات بالمباني والمعاني
Dalam Ibadah, format (dzohir) dan hakikat (bathin)
harus berjalan seiringan. Shalat misalnya, dimensi luarnya adalah
gerakan-gerakan mulai dari mengangkat tangan, berdiri, rukuk, sujud sampai pada
menolehkan wajah ketika salam, dan bacaan-bacaan mulai dari do’a iftitah, fatihah
sampai pada salam. Sedangkan dimensi hakikatnya adalah khusyû’ dan khudlû’
kepada Allah SWT.
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: Selanjutnya,
apabila kamu telah mneyelesaikan sholat(mu) ingatlah allah ketika kamu berdiri,
pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman,
maka laksanakanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, sholat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
2.1.2 Prinsip
Fiqh Mu’âmalah
Sebagaimana fiqh ibadah, fiqh mu’amalah pun
memiliki beberapa prinsip dalam pemberlakuan hukumnya. Prinsip-prinsip tersebut
adalah:
1) بناؤه على أساس
المبادئ العامة
Fiqh mu’âmalah dibangun di atas prinsip-prinsip
universal (al-mabâdi` al-âmmah),
seperti nilai-nilai keadilan (al-‘adâlah),
kesetaraan (al-musâwah), musyawarah (al-syûrâ),saling membantu (al-ta’âwun),
dan toleransi (al-tasâmuh). Dengan basis prinsip-prinsip tersebut,
tercipta hubungan-hubungan sosial yang berkeadilan dan anti ketimpangan. Dasar
dalil prinsip diatas adalah:
·
Keadilan:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
·
Saling membantu:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
·
Kesetaraan dan toleransi
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
·
Musyawarah:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
2) الأصل فى
المعاملات الإلتفات الى المعاني
Prinsip fiqh mu’âmalah
adalah mengutamakan substansi daripada format. Dalam transaksi
jual beli, misalnya, sangat diperhatikan prinsip tarâdlin (suka sama suka)
sebagai substansi. Sedangkan ijab-qabul (peryataan verbal) tak lain adalah
format yang memanifestasikan tarâdlin. Dalam mu’âmalah dimensi luar bisa
berubah sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ
3) الأصل فى
المعاملات الإباحة
Pada dasarnya mu’âmalât adalah diperbolehkan
(al-ibâhah). Ini berarti, untuk membolehkan suatu praktik mu’âmalah tidak
diperlukan dalil yang membolehkannya, baik nash Al-Quran maupun nash Al-Hadits,
baik secara langsung maupun tidak langsung selama tidak ada dalil yang
melarangnya. Hal ini sesuai dengan kaedah yang berbunyi:
Segala sesuatu selama tidak ada dalil yang
mengharamkannya maka hukumnya boleh.
2.2 Karakteristik Fiqh
Fiqh islam mempunyai keistimewaan dan
karakteristik khusus, antara lain sebagai berikut:
1.
Fiqh Islam itu Dasarnya Adalah Wahyu Ilahi.
Keistimewaan fiqh islam dibanding undang-undang buatan manusia
adalah bahwa fiqh islam bersumber pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Quran
dan sunnah Nabi. Maka setiap mujtahid
dalam melakukan istimbath (deduksi/penggalian) hukum-hukum syara’ selalu
merujuk dan mendaratkan pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun
melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahami ruh syari’at,
tujuan-tujuannya secara umum, kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip umum. Dengan begitu, maka pertumbuhan fiqh islam
menjadi sempurna, bangunan epistemologinya jelas dan tiang-tiang
penyangganya kuat, karena prinsip dasarnya kuat dan sempurna (yaitu
wahyu). Allah SWT berfirman: “...Pada hari ini telah Aku sempurnakan
untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan pula nikmat-Ku untukmu, dan Aku rela
Islam menjadi agamamu .....” (QS.
Al-Maidah [5]:3).
Setelah itu, tidak ada yang lain kecuali tinggal menerapkan sesuai
dengan kemaslahatan manusia yang sesuai dengan tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah).
2. Fiqh
Islam bersifat Komprehensif, Mencakup Seluruh Aspek Kebutuhan Hidup.
Fiqh islam bersifat komprehensif, yakni mencakup seluruh tuntutan
kehidupan manusia. Fiqh Islam mempunyai
kelebihan dibanding sistem undang-undang yang lain, karena ia mencakup tiga
aspek hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya
sendiri dan manusia dengan masyarakatnya.
Karena Islam itu mengatur urusan dunia akhirat, Islam itu agama dan
negara (al-Islamu din wa al- daulah), bersifat umum untuk seluruh manusia dan kekal
sampai hari kiamat.
Tidaklah mengherankan jika kemudian hukum-hukum Islam itu biasanya
berkutat dalam persoalan aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah. Karena tujuannya adalah agar manusia
menyadari dengan sepenuh hati bahwa Allah selalu mengawasi, baik dalam masalah
yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Di samping itu, juga agar manusia mau menghormati hak-hak orang lain,
sehingga mereka benar-benar merasa tenang dan bahagia, baik dalam kehidupan
yang bersifat khusus maupun umum.
Oleh karena itu, maka hukum-hukum praktis (fiqh) yang terkait
dengan perbuatan seorang mukallaf, baik berupa ucapan, perbuatan transaksi
selalu mencakup dua aspek, yaitu hukum-hukum ibadahdan hukum-hukum mu’amalat.
Hukum-hukum ibadah meliputi persoalan bersuci, shalat, puasa, haji,
zakat, nazar, sumpah, dan lain sebagainya; pokoknya, segala hal yang terkait
dengan hukum-hukum yang dimaksudkan untuk mengatur sistem hubungan manusia
dengan Tuhannya. Di dalam Al-Qur’an
hukum-hukum yang terkait dengan masalah ini kurang lebih ada 140 ayat.
Sedangkan hukum-hukum mu’amalah meliputi persoalan akad-transaksi, tasarruf (pembelanjaan harta), hukuman,
pidana, jaminan dan lain sebagainya. Pokoknya, hukum-hukum yang dimaksudkan
untuk mengatur hubungan sesama, baik bersifat pribadi maupun kelompok. Hukum-hukum mu’amalat itu dirinci lagi
menjadi:
a.
Hukum
ahwal al syakhsiyyah, yaitu
hukum-hukum yang terkait dengan masalah keluarga, seperti pernikahan, talaq
(cerai), pernasaban, nafaqah (nafkah),
warisan. Hukum ahwal al syakhsiyyah itu
dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara suami istri, dan mengatur hubungan
kerabat yang satu dengan yang lainnya.
b.
Hukum-hukum
perdata, yaitu hukum yang terkait dengan masalah mu’amalah atau tukar-menukar,
seperti masalah jual beli, persewaan, penggadaian, tanggungan, perseroan,
hutang piutang, pemenuhan janji. Hukum-hukum perdata itu dimaksudkan untuk
mengatur hubungan seseorang mengenai masalah harta dan untuk menjaga
hak-haknya. Di dalam Al-Qur’an terdapat
kurang lebih tujuh puluh ayat yang berbicara mengenai masalah tersebut.
c.
Hukum-hukum
pidana, yaitu hukum-hukum yang terkait dengan persoalan kejahatan yang muncul
dari seorang mukallaf dan menyebabkan ia harus diberi hukuman. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehidupan
manusia, harta, kehormatan dan hak-hak mereka.
Di samping itu, juga untuk membatasi hubungan antara orang yang menjadi
korban (al-mujna’alaih) dan yang
melakukan tindak kejahatan (al-jani), serta umat manusia pada umumnya. Di dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih tiga
puluh ayat mengenai hukum pidana.
d.
Hukum
proses persidangan baik kasus perdata maupun pidana (al-ahkaam al-muraafa’at). Yaitu,
hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah kehakiman, prosedur melakukan
tuduhan, prosedur penetapan suatu kasus baik dengan menggunakan saksi, sumpah,
bukti, atau lainnya. Hukum-hukum dalam
masalah ini dimaksudkan untuk mengatur prosedur penegakan keadilan di
tengah-tengah masyarakat. Dalam
Al-Qur’an terdapat sekitar dua puluh ayat yang mengatur masalah ini.
e.
Hukum
pemerintahan (al-ahkaam
d-dustuuriyyah). Yaitu, hukum-hukum
yang berhubungan dengan sistem pemerintahan dan juga dasar-dasar pemerintahan. Dengan adanya hukum ini, maka hubungan antara
pemerintah dengan rakyat dapat tertata dengan baik, hak dan kewajiban
individu serta masyarakat dapat diketahui dengan jelas.
f.
Hukum
internasional (al-ahkaam ad-dauliyyah).
Yaitu, hukum-hukum yang membahas masalah tata tertib hubungan antara negara
islam dengan negara-negara lainnya, baik dalam kondisi damai maupun kondisi
perang. Bagian ini juga membahas
hubungan warga negara non-Muslim dengan pemerintah, masalah jihad, dan juga
masalah perjanjian damai. Dengan adanya
hukum ini, maka bentuk hubungan antara satu negara dengan yang lainnya dapat
terjalin dengan baik, saling menolong, dan saling menghormati.
g.
Hukum
perekonomian, yaitu hukum yang terkait dengan masalah harta seseorang dan
ketentuan yang harus ditaati. Termasuk
di dalamnya adalah hak-hak dan kewajiban negara untuk masalah ini, sistem penghasilan
negara dan sistem pembelanjaannya, di samping juga untuk mengatur sistem
hubungan antara orang-orang kaya dengan yang miskin, negara dengan rakyatnya,
terutama menyangkut masalah harta negara yang khusus maupun yang umum, seperti
harta rampasan perang, perpajakan, barang tambang baik migas maupun non migas,
hasil alam, harta rakyat, seperti zakat, sadaqah, nazar, pinjaman, harta
keluarga ,seperti infaq, warisan, wasiat, dan harta pribadi seperti keuntungan
berdagang, sewa-menyewa, perseroan dan setiap hasil-hasil produksi lainnya.
3. Fiqih
Islam Itu Berbicara Tentang Halal-Haram
Salah
satu perbedaan antara fiqih islam dengan undang-undang hukum positif adalah
bahwa dalam fiqih Islam selalu ada pemikiran mengenai halal-haram terhadap
setiap tindakan muamalah, tidak hanya persoalan-persoalan yang bersifat
duniawi, tapi juga yang bersifat ukhrawi.
Hukum
duniawi ini titik tekannya adalah hal-hal yang bersifat zahir atau eksoteris (hal-hal yang tampak) dan tidak mempersoalkan
hal-hal yang bersifat esoteris (tidak tampak).
Itulah yang disebut keputusan hukum (al-hukmu
al-qada’i) dari seorang hakim.
Seorang hakim hanya dapat memutuskan perkara berdasarkan bukti-bukti zahir dan formal. Keputusan hakim sebenarnya tidak dapat
menjadikan hal yang batal (salah) menjadi benar, atau sebaliknya yang benar
menjadi salah; menjadikan yang halal menjadi haram, atau yang haram menjadi halal
dalam kenyataannya. Putusan hakim itu
harus diberlakukan, hal ini berbeda dengan fatwa, yang tidak harus
diberlakukan.
Sedang
hukum akhirat ini didasarkan pada kebenaran material yang hakiki, meskipun bagi
seorang (misalnya hakim) hal itu sangat samar dan tidak tampak. Sebab yang
memutuskan dalam hal ini adalah Allah SWT.
Putusan ini diberlakukan oleh Allah langsung untuk hamba-hambanya.
Salah
satu dasar pijakan epistemologi mengenai pembagian hukum tersebut adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para imam hadis Kutub Al-Sittah, di mana Rasulullah SAW pernah bersabda : “Sesungguhnya aku hanyalah manusia dan
sesungguhnya kalian bertengkar (untuk mengaadukan persoalan hukum) kepadaku.
Mungkin sebagian kalian lebih pandai dalam berargumentasi dibanding yang
lainnya, sehingga aku memutuskan hukum yang cenderung menguntungkan kalian
sesuai dengan informasi (bukti-bukti material) yang saya dengar. Maka barang siapa yang aku putuskan hukum
untuknya, dengan merugikan hak muslim yang lain, sesungguhnya hal itu
merupakan potongan dari api neraka, maka silahkan mengambilnya atau
meninggalkannya.”
Salah
satu faktor munculnya kategori sifat seperti itu adalah karena syariat itu
merupakan wahyu Allah yang menjanjikan pahala dan siksa akhirat. Syariat itu adalah sistem undang-undang yang
bersifat ruhiyyah sekaligus badaniyyah (badan). Karena ia datang untuk kebaikan dunia dan
akhirat atau agama dan dunia.
Implikasi
dari pembagian hukum tersebut misalnya tampak dalam masalah talaq (cerai),
sumpah, hutang-piutang, pembebasan, paksaan dan lain sebagainya. Berdasarkan
hal itu, maka tugas seorang qadi
(hakim) itu berbeda dengan tugas seorang mufti
(ahli fatwa). Seorang qadi (hakim) menetapkan hukum
berdasarkan bukti-bukti lahir (yang formal) saja, sedangkan seorang mufti dalam
menetapkan hukum tetap menjaga aspek batin dan lahir secara bersama. Maka
apabila terjadi perselisihan dua orang yang secara lahir sama-sama kuat, maka
dalam keputusan hukum, seorang mufti mendasarkan putusannya berdasarkan bukti-bukti
batin, jika memang tampak baginya.
Sebagai
contoh, jika ada seseorang yang telah membebaskan hutangnya kepada piutangnya
(orang yang berhutang) tetapi pihak piutang tersebut tidak tahu kalau hutangnya
telah dibebaskan, lalu dikemudian hari orang tersebut menuntut kepada pihak
piutang agar melunasi hutangnya, maka hakim (qadi)
akan memutuskan bahwa dia dalam (piutang) tetap punya hutang dan wajib
membayarnya. Hal itu berbeda dengan
putusan fatwa. Menurut keputusan fatwa,
maka orang tersebut (piutang) tidak lagi harus membayar hutangnya karena telah
ada ibra’ (pembebasan hutang) meski
yang berhutang tidak tahu.
4. Fiqih
Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral
Fiqih Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena ia
terpengaruh dengan undang-undang moral (qawaid
al-akhlaq), bahkan ia menyempurnakannya. Undang-undang positif buatan
manusia (al-Qanun al-Wad’iyyi) hanya
mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat,
meskipun kadang menghancurkan sebagian prinsip agama dan moral.
Adapun Fiqih Islam ingin menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya
moralitas. Tasyri’ ibadah misalnya, dimaksudkan untuk mensucikan dan membersihkan
jiwa, serta menjauhkan dari hal-hal
munkar. Diharamkannya riba dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong
menolong (ruh ta’awun), kasih sayang diantara manusia dan melindungi
orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik harta. Demikian pula larangan
menipu dalam transaksi, larangan makan harta dengan cara yang batal, serta
membatalkan akad, sebab ketidaktahuan (al-jahalah)
atau cacat yang sudah maklum dan lain sebagainya. Semua itu dimaksudkan
untuk menyebarkan cinta kasih, menjaga kepercayaan dan menghindarkan
pertentangan diantara manusia. Disamping
itu juga untuk menjaga hak-hak orang lain. Demikian halnya dengan perintah untuk
melaksanakan akad transaksi, yang dimaksudkan untuk menjaga janji,
diharamkannya minuman keras (khamr) yang
dimaksudkan untuk menjaga akal yang salah satu fungsinya sebagai tolak ukur
baik dan benar.
Apabila agama dan akhlak saling
menopang dalam kegiatan muamalah maka kemaslahatan masing-masing masyarakat
akan menjadi nyata, kebahagiaan mereka di akhirat juga akan tercapai. Dengan begitu, maka tujuan fiqih adalah untuk
kebaikan di masa sekarang maupun yang akan datang dan kebahagiaan dunia
akhirat.
Pengaruh agama dan akhlak dalam
fiqih islam (syariat islam) dapat menjadikan syariat lebih diamalkan, dihormati
dan ditaati, sementara undang-undang buatan manusia (al-Qanun al-Wad’iyyi) cenderung untuk dilanggar oleh orang-orang,
terutama oleh para penguasa sendiri.
5. Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan
Akhirat
Fiqih islam berbeda dari undang-undang
konvensional buatan manusia (al-Qanun Al-Wad’iyyi) yang hanya menetapkan
hukuman di dunia saja bagi orang yang melanggarnya, karena fiqih islam memberikan
sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa
hukuman hudud yang sudah ditentukan maupun ta’zir yang tidak ditentukan
terhadap perbuatan manusia yang bersifat zahir, dan hukuman akhirat atas perbuatan
hati yang tidak tampak oleh manusia, seperti iri hati, berniat merugikan orang
lain, dan atas perbuatan lahir yang belum dikenakan sanksi (siksa) di dunia,
yang boleh jadi hal itu disebabkan karena mengabaikan hukuman tersebut, seperti
yang terjadi di kebanyakan negara-negara sekarang ini, atau karena tidak adanya
putusan hukum, atau tindakan pelanggaran tersebut tidak sempat diketahui oleh para
penegak hukum.
Demikian
pula hukuman atau balasan dalam fiqih islam bersifat positif dan negatif.
Dikatakan positif karena dalam pelaksanaan hukuman tersebut terdapat pahala disebabkan
oleh sikap ketaatan seseorang kepada perintah-perintah Allah. Dikatakan negatif karena hukuman tersebut menetapkan
pahala bagi seseorang karena menjauhi larangan dan maksiat kepada Allah.
Adapun
undang-undang pada umumnya hanya terbatas pada penetapan hukuman yang bersifat
negatif (salbi) yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap hukuman-hukuman
tersebut, tanpa adanya penetapan pahala (reward) bagi pihak yang dihukum
karena taat menjalankan hukuman tersebut.
6. Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih
Islam
Artinya, dalam fiqih Islam itu selalu menjaga
kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak
orang lain. Oleh sebab itu, kemaslahatan bersifat umum atau sosial harus didahulukan
dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual, terutama ketika terjadi
pertentangan antara kemaslahatan individual dengan kemaslahatan sosial yang
bersifat umum. Demikian pula ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan
yang menimpa dua hal yang lebih besar bahayanya. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
“ لَا ضَرَرَ
وَلَا ضِرَار” (Tak
berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain) dan kaidah
yang berbunyi: الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف “menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil
resiko yang lebih kecil dari keduanya.”
Contoh
kasus dalam rangka menjaga kemaslahatan umum
adalah disyari’atkannya ibadah shalat, puasa dan lain sebagainya. Selain itu adalah dihalalkannya jual beli dan
diharanmkannya riba, diharamkannya menyimpan barang dagangan dan jual beli bi
saman al-misli, dan lain sebagainya. Termasuk dalam rangka menjaga
kemaslahatan umum adalah ditegakkannya hukuman hudud terhadap para pelaku kemungkaran
yang berbahaya, pengaturan keluarga, menjaga hak-hak tetangga, menepati janji dan
jual beli secara paksa (dengan ganti rugi misalnya menjual tanah) untuk kepentingan
umum, seperti kepentingan untuk membuat masjid, madrasah, rumah sakit, kuburan dan
lain sebagainya.
Adapun
contoh dibatasinya hak pribadi seseorang ketika membahayakan kepentingan umum adalah
bahwa seorang istri tidak harus taat kepada suami apabila suami membuat madarat
kepadanya. Hal ini sejalan dengan Firman Allah:
“Janganlah
kalian mengekangnya karena untuk membuat bahaya agar mereka ber‘iddah” (Qs.
Al-Baqarah[2]:231).
Demikian
pula tidak wajib taat kepada penguasa jika ia memerintahkan kemaksiatan atau mengingkari
kemaslahatan umum. Sebab, ketaatan itu hanya
pada hal yang ma’ruf (baik). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “Wajib mendengar dan taat kepada seorang muslim
terhadap sesuatu, baik ia suka maupun tidak suka selagi tidak diperintah untuk bermaksiat.
Maka apabila ia memerintahkan berbuat maksiat maka tidak ada keharusan untuk mendengarkan
dan mentaatinya (HR. Ahmad)
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kaidah atau
prinsip-prinsip dalam fiqh menghimpun seluruh persoalan fiqh. Menurut Imam
An-Nadwi prinsip-prinsip fiqh adalah dasar-dasar fiqh yang mencakup berbagai
hukum-hukum syari'ah dari berbagai bab pembahasan fiqh. Dengan berlandasan pada
Al Quran dan As Sunnah, maka lahirlah lima prinsip universal yang menjadi
rujukan permasalahan-permasalahan Fiqh ( baik Fiqh Ibadah maupun Muamalah ).
Lima prinsip tersebut adalah:
1.
الْأُمُور بِمَقَاصِدِهَا (segala sesuatu tergantung pada niatnya).
2.
الْيَقِين لَا يُزَال بِالشَّكِّ ( keyakinan tidak bisa dihilangkan sebab keraguan).
3.
الْمَشَقَّة تَجْلِب التَّيْسِير ( masyaqqot / kesulitan
menarik kemudahan).
4.
الضَّرَر يُزَال ( madlarrat harus dihilangkan ).
5.
الْعَادَة مُحَكَّمَةٌ ( kebiasaan bisa dijadikan hukum ).
Fiqh ibadah mempunyai beberapa prinsip tersendiri yang
membedakannya dari fiqh mu’amalah, prinsip-prinsip tersebut yaitu:
1.
الأصل في العبادات التعبد (Prinsip dasar
ibadah adalah ta'abbud (penghambaan kepada Allah).
2.
إن الله لا يعبد إلا بما شرع Ibadah kepada
Allah harus dengan bentuk dan tata-cara yang ditetapkan dan ditentukan oleh Allah
sendiri.
3.
العبرة في العبادات بالمباني والمعاني Dalam Ibadah,
format (dzohir) dan hakikat (bathin) harus berjalan seiringan.
Sebagaimana fiqh ibadah, fiqh mu’amalah pun
memiliki beberapa prinsip dalam pemberlakuan hukumnya. Prinsip-prinsip tersebut
adalah:
1.
بناؤه على أساس المبادئ العامة
Fiqh mu’âmalah dibangun di atas prinsip-prinsip
universal (al-mabâdi` al-âmmah),
seperti nilai-nilai keadilan (al-‘adâlah),
kesetaraan (al-musâwah), musyawarah (al-syûrâ),saling membantu (al-ta’âwun),
dan toleransi (al-tasâmuh). Dengan basis prinsip-prinsip tersebut,
tercipta hubungan-hubungan sosial yang berkeadilan dan anti ketimpangan.
2.
الأصل فى المعاملات الإلتفات الى المعاني
Prinsip fiqh mu’âmalah
adalah mengutamakan substansi daripada format.
3.
الأصل فى المعاملات الإباحة
Pada dasarnya mu’âmalât adalah diperbolehkan
(al-ibâhah).
Fiqh islam mempunyai keistimewaan dan
karakteristik khusus, antara lain sebagai berikut:
1. Fiqh islam itu dasarnya adalah Wahyu Ilahi.
2.
Fiqh
Islam bersifat Komprehensif, Mencakup Seluruh Aspek Kebutuhan Hidup.
3.
Fiqih
Islam Itu Berbicara Tentang Halal-Haram
4.
Fiqih
Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral
5. Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan
Akhirat
6. Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih
Islam
3.2 Saran
Semoga dengan makalah ini, kita bisa lebih
memahami tentang prinsip-prinsip dan karaktristik fiqh. Karena dengan pahamnya seseorang tentang fiqh,insya Allah akan
menambah kesempurnaan dalam beribadah.
Sehingga tidak goyah dan was-was, dan yang paling penting adalah agar
kita tidak terprovokasi dalam isu-isu yang tidak jelas dasarnya, sehingga hablun
minallah dan hablu minannas yang baik dapat terwujud.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna,
maka dari itu kami membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, sangat
kami harapkan. Karena dengan saran dan kritik dari semuanya akan membantu kami
dalam penulisan untuk kedepan.
Dan kami minta maaf dengan segala kekurangan yang ada, baik dari
penyusunan, penulisan, dan kesalahan kata.
Daftar Pustaka
1.
Al-Quran
2.
Imam Assuyuti, Al Asybah Wan Nadzoir, Maktabah
Syamilah
3.
Abdul
Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah
4.
Muhammad
Alwi al-Maliki, Syari’at Islam Pergumulan
Teks dan Realitas, eLSAQ press, Jogjakarta, tahun 2003.
5.
Zuhaili,
Wahbah.2007.Fiqh Islam. Darul Fikr.