twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Selasa, 21 Oktober 2014

Makalah Ijarah


Secara etimologi, kata ijârah berasal dari kata al-ajru yang berarti upah atau ganti (al-‘iwadhu). Dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr. Sedangkan secara terminologi syara’, ijârah adalah akad atas suatu kemanfa’atan dengan adanya ganti atau upah. Maka, tidak sah menyewa pohon untuk diambil buahnya. Tidak sah pula menyewa emas dan perak, makanan untuk dimakan, benda yang ditakar maupun ditimbang karena barang-barang tersebut termasuk benda istihlâkî yang tidak bisa dimanfa’atkan kecuali dengan mengkonsumsinya. Begitu pula tidak sah menyewakan sapi,  kambing atau unta untuk diperas susunya. Hal ini karena ijârah ialah kepemilikan manfa’at, sedangkan dalam masalah ini ialah kepemilikan susu dan susu itu termasuk benda. Akad ijârah berlaku pada kepemilikan manfa’at, bukan kepemilikan benda.[1]
            Zuhaili mengemukakan bahwa ijârah adalah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang.[2]
            Jadi, ijârah adalah akad atas suatu manfa’at yang diperbolehkan dari barang yang tertentu atau atas jasa/pekerjaan tertentu dalam batasan waktu tertentu dengan adanya upah yang disepakati. Maka, akad ijârah bisa kita artikan dengan sewa-menyewa atau upah mengupah.

Ijârah dalam hukum islam diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, Al-Hadis, dan konsensus (ijma’) para ulama’. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ[3]
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ[4] 
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ[5]
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِين[6]
“Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
Sedangkan dalil-dalil hadis ialah sebagaimana berikut:
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللهُ تَعَالَى: ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِيْ ثُمَّ غَدَرَ, وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ, وَرَجَلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.[7]
“Dari Abu Hurairah R.A, beliau berkata: “Rasulullah bersabda: ”Allah SWT berfirman: “Ada tiga golongan yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat, yaitu orang yang berjanji dengan bersumpah menggunakan lafadz Allah lalu dia curang, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil jualannya itu dan orang yang mempekerjakan orang lain lalu dia bekerja dengan baik, namun tidak dibayar setelah pekerjaannya selesai”. (Diriwayatkan oleh Muslim: 936).
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْطُوْا الْأَجِيْرَ أَجْرَهُ  قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. رَواَهُ ابْنُ مَاجَه.[8]
“Dari Ibnu Umar R.A. beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Bayarlah upah buruh sebelum peluhnya kering”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Selain hadis tersebut dikisahkan bahwa Rasulullah SAW dan Abu Bakar As-Shiddiq menyewa Abdullah bin Uraiqoth untuk menunjukkan jalan menuju Madinah ketika hijrah.[9]
C.   Rukun dan Syarat Ijârah
1.    Rukun Ijârah
a.       Mu’jir (orang/barang yang disewa) yaitu orang yang memberikan upah dan menyewakan
b.      Musta’jir (orang yang menyewa) yaitu  orang yang  menerima upah untuk melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu
c.       Objek transaksi (manfaat) yaitu  Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas, seperti mengerjakan proyek, membajak sawah dan sebagainya
d.      Sîghat (ijab dan qabul) yaitu ijab qabul antara mu’jir dan musta’jir.  Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang dan jasa, sedangkan qabul adalah jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir.
e.       Imbalan atau Upah yaitu Upah sebagaimana terdapat dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.

2.        Syarat Ijârah
a.       Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal
b.      Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijârah
c.       Manfaat yang menjadi objek ijârah harus diketahui secara sempurna
d.      Objek Ijârah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat
e.       Manfaat dari objek yang diijârahkan harus dibolehkan oleh agama, maka tidak boleh ijârah terhadap maksiat.  Seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang orang lain
f.       Upah atau sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.[10]
            Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا[11]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan suka sama suka”.
1.      Sifat Ijârah
Ijârah menurut Hanafiyah adalah akad yang lazim, tetapi boleh di fasakh apabila terdapat udzur, sebagaimana yang telah diuraikan sebelum ini. Sedangkan menurut jumhur ulama’, ijârah adalah akad yang lazim (mengikat), yang tidak bisa di fasakh kecuali dengan sebab-sebab yang jelas, seperti adanya ‘aib (cacat) atau hilangnya objek manfa’at. Hal tersebut oleh karena ijârah adalah akad atas manfa’at. Di samping itu, ijârah adalah akad mu’âwadhah, sehingga tidak bisa dibatalkan begitu saja sama seperti jual beli.
Sebagai kelanjutan dari perbedaan tersebut, Hanafiyah berpendapat bahwa ijârah batal karena meninggalnya salah seorang pelaku akad, yakni musta’jir atau mu’jir. Hal itu karena apabila akad ijârah masih tetap maka manfa’at yang dimiliki oleh musta’jir atau uang sewa yang dimiliki oleh mu’jir berpindah kepada orang lain (ahli waris) yang tidak melakukan akad, dan hal ini tidak dibolehkan.
Sedangkan menurut jumhur ulama’ yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, ijârah tidak batal karena meninggalnya salah seorang pelaku akad karena ijârah merupakan akad yang lazim (mengikat) dan akad mu’âwadhah sehingga tidak bisa batal karena meninggalnya salah satu pihak, seperti jual beli.
2.      Hukum Ijârah
Akibat hukum dalam ijârah yang shohih adalah tetapnya hak milik atas manfa’at bagi musta’jir (penyewa) dan tetapnya hak milik atas uang sewa atau upah bagi mu’jir (yang menyewakan). Hal ini oleh karena akad ijârah adalah akad mu’âwadhah, yang disebut dengan jual beli manfa’at.
Dalam ijârah fâsidah apabila musta’jir telah menggunakan barang yang disewa maka ia wajib membayar uang sewa yang berlaku (ujrotul mitsli). Menurut Hanafiyah, kewajiban membayar ujrotul mitsli berlaku apabila rusaknya akad ijârah tersebut karena syarat yang fâsid, bukan karena ketidak-jelasan harga, atau tidak menyebutkan jenis pekerjaannya. Dalam hal ijârah fâsidah karena dua hal yang disebutkan terakhir ini, maka upah atau uang sewa harus dibayar penuh. Menurut imam Zufar dan Syafi’i, dalam ijârah fâsidah, upah atau uang sewa harus dibayar penuh seperti halnya dalam jual beli. [12]
Ijârah ada dua macam:
1.      Ijârah atas manfaat
Ijârah atas manfaat dari suatu benda tertentu seperti contoh: “Saya sewakan rumah ini padamu”, atau atas benda yang yang disifati, contohnya: “Saya sewakan sebuah mobil yang sifatnya begini kepadamu untuk dikendarai”, maka dinamakan ijâratul ‘ain, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijârah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.
2.      Ijârah atas pekerjaan
Ijârah atas melaksanakan suatu pekerjaan yang diketahui, misalnya membangun tembok bagi orang yang mempekerjakannya, maka dinamakan ijâratu al-dzimmah disebut juga upah-mengupah. Dalam ijârah bagian kedua ini objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.[13]
            Adapun penjelasan hukum dari masing-masing ijârah tersebut ialah sebagai berikut:
1.      Hukum ijârah atas manfaat benda (sewa-menyewa)
Akad sewa-menyewa (ijâratul ‘ain) dibolehkan atas manfaat yang mubah seperti rumah untuk tempat tinggal, toko dan kios untuk tempat berdagang, mobil untuk kendaraan atau angkutan, pakaian dan perhiasan untuk dipakai. Adapun manfaat yang diharamkan maka tidak boleh disewakan, karena barangnya diharamkan. Dengan demikian, tidak boleh mengambil imbalan untuk manfaat yang diharamkan ini seperti bangkai dan darah.[14]
2.      hukum ijârah atas pekerjaan (upah-mengupah)
Ijârah atas pekerjaan (ijâratu al-dzimmah) atau upah-mengupah adalah suatu akad ijârah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya membangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ke tempat tertentu, memperbaiki mesin cuci, dan lain sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajîr (tenaga kerja).
Ajîr atau tenaga kerja ada dua macam:
a.       Ajîr (tenaga kerja) khusus, yaitu orang yang bekerja pada suatu orang untuk masa tertentu. Ia tidak boleh bekerja untuk orang lain selain orang yang telah mempekerjakannya. Contohnya pembantu rumah tangga.
b.      Ajîr (tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya. Contohnya tukang jahit, notaris dan  lain-lain. Hukumnya adalah ia boleh bekerja untuk semua orang dan orang yang menyewa tenaganya tidak boleh melarangnya bekerja kepada orang lain. Ia tidak berhak atas upah kecuali dengan bekerja.[15]

F.     Pembatalan dan Berakhirnya Ijârah
            Ijârah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijârah merupakan akad pertukaran, kecuali didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
            Ijârah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a.         Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa
b.        Rusaknya barang yang disewakan, seperti rusaknya rumah yang telah ditentukan dan sebagainya
c.         Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan, karena tidak mungkin menyempurnakannya setelah rusak
d.        Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, selesainya pekerjaan, dan berakhirnya masa yang telah ditentukan
e.         Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijârah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.[16]



[1] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz III,  (Kairo: Al-Fathu Lil i’lam Al-‘Arobi, t.t.), 138.   
[2]Ismail Nawawi, Fikih Mu’amalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 185.
[3] QS. Az-Zukhruf: 32.
[4] QS. Al-Baqoroh: 233.
[5] QS. Al-Qashash: 26.
[6] QS. Al-Qashash: 27.
[7] Abu Abdullah bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanatul Ahkam, Jilid III,  (Kuala Lumpur: Al-Hidayah, 2010), 248.
[8]‘Allusy, Ibanatul Ahkam, 251.
[9]Abbas Arfan, Fiqhul Mu’amalat, 66.
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 117.
[11] QS. An-Nisa’: 29.
[12] Syamsudin Ahmad bin Qoudar, Nataij al-Afkar fii Kasyfi ar-Rumus wa Asrar, Juz 9, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., 91.
[13] Abbas Arfan, Fiqhul Mu’amalat,  70.
[14] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), 330.
[15] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, 146.
[16] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, 147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar