Secara etimologi,
kata ijârah berasal dari kata al-ajru yang berarti upah atau
ganti (al-‘iwadhu). Dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan
ajr. Sedangkan secara terminologi syara’, ijârah adalah
akad atas suatu kemanfa’atan dengan adanya ganti atau upah. Maka, tidak sah
menyewa pohon untuk diambil buahnya. Tidak sah pula menyewa emas dan perak,
makanan untuk dimakan, benda yang ditakar maupun ditimbang karena barang-barang
tersebut termasuk benda istihlâkî yang tidak bisa dimanfa’atkan kecuali
dengan mengkonsumsinya. Begitu pula tidak sah menyewakan sapi, kambing atau unta untuk diperas susunya. Hal
ini karena ijârah ialah kepemilikan manfa’at, sedangkan dalam masalah
ini ialah kepemilikan susu dan susu itu termasuk benda. Akad ijârah
berlaku pada kepemilikan manfa’at, bukan kepemilikan benda.[1]
Zuhaili
mengemukakan bahwa ijârah adalah transaksi pemindahan hak guna atas
barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa
tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang.[2]
Jadi,
ijârah adalah akad atas suatu manfa’at yang diperbolehkan dari barang
yang tertentu atau atas jasa/pekerjaan tertentu dalam batasan waktu tertentu
dengan adanya upah yang disepakati. Maka, akad ijârah bisa kita artikan
dengan sewa-menyewa atau upah mengupah.
Ijârah dalam hukum islam
diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, Al-Hadis, dan konsensus (ijma’)
para ulama’. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا
بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ
فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ
رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ[3]
“Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan”.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ
كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا
وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ
مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا
آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ[4]
“Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ
خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ[5]
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya”.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ
هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا
فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ
اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِين[6]
“Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak
memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang
yang baik".
Sedangkan dalil-dalil hadis ialah sebagaimana berikut:
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللهُ تَعَالَى: ثَلَاثَةٌ أَنَا
خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِيْ ثُمَّ غَدَرَ, وَرَجُلٌ
بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ, وَرَجَلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى
مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.[7]
“Dari Abu Hurairah R.A, beliau berkata: “Rasulullah
bersabda: ”Allah SWT berfirman: “Ada tiga golongan yang menjadi musuh-Ku pada
hari kiamat, yaitu orang yang berjanji dengan bersumpah menggunakan lafadz
Allah lalu dia curang, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil
jualannya itu dan orang yang mempekerjakan orang lain lalu dia bekerja dengan
baik, namun tidak dibayar setelah pekerjaannya selesai”. (Diriwayatkan oleh
Muslim: 936).
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْطُوْا الْأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. رَواَهُ ابْنُ
مَاجَه.[8]
“Dari
Ibnu Umar R.A. beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Bayarlah upah buruh
sebelum peluhnya kering”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Selain hadis tersebut dikisahkan bahwa Rasulullah SAW dan
Abu Bakar As-Shiddiq menyewa Abdullah bin Uraiqoth untuk menunjukkan jalan
menuju Madinah ketika hijrah.[9]
1. Rukun Ijârah
a. Mu’jir (orang/barang yang disewa) yaitu orang yang memberikan upah dan
menyewakan
b. Musta’jir (orang yang menyewa) yaitu
orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu
c. Objek transaksi (manfaat) yaitu Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki
manfaat yang jelas, seperti mengerjakan proyek, membajak sawah dan sebagainya
d. Sîghat
(ijab dan qabul) yaitu ijab qabul antara mu’jir dan musta’jir. Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama
(mu’jir) untuk menyewakan barang dan jasa, sedangkan qabul adalah
jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang
dipinjamkan oleh mu’jir.
e. Imbalan atau Upah yaitu Upah sebagaimana
terdapat dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang
dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah
dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.
2.
Syarat Ijârah
a. Kedua orang yang berakad harus baligh dan
berakal
b. Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijârah
c. Manfaat yang menjadi objek ijârah harus
diketahui secara sempurna
d. Objek Ijârah boleh diserahkan dan
dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat
e. Manfaat dari objek yang diijârahkan harus dibolehkan oleh agama, maka tidak boleh ijârah terhadap maksiat. Seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang
untuk membunuh orang orang lain
f. Upah atau sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang
berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.[10]
Allah
SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا[11]
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil,
kecuali dengan perniagaan suka sama suka”.
1.
Sifat Ijârah
Ijârah menurut Hanafiyah adalah akad yang lazim,
tetapi boleh di fasakh apabila terdapat udzur, sebagaimana yang telah
diuraikan sebelum ini. Sedangkan menurut jumhur ulama’, ijârah adalah
akad yang lazim (mengikat), yang tidak bisa di fasakh kecuali dengan
sebab-sebab yang jelas, seperti adanya ‘aib (cacat) atau hilangnya objek
manfa’at. Hal tersebut oleh karena ijârah adalah akad atas manfa’at. Di
samping itu, ijârah adalah akad mu’âwadhah, sehingga tidak bisa
dibatalkan begitu saja sama seperti jual beli.
Sebagai kelanjutan dari
perbedaan tersebut, Hanafiyah berpendapat bahwa ijârah batal karena
meninggalnya salah seorang pelaku akad, yakni musta’jir atau mu’jir.
Hal itu karena apabila akad ijârah masih tetap maka manfa’at yang
dimiliki oleh musta’jir atau uang sewa yang dimiliki oleh mu’jir
berpindah kepada orang lain (ahli waris) yang tidak melakukan akad, dan hal ini
tidak dibolehkan.
Sedangkan menurut jumhur
ulama’ yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, ijârah
tidak batal karena meninggalnya salah seorang pelaku akad karena ijârah
merupakan akad yang lazim (mengikat) dan akad mu’âwadhah sehingga tidak
bisa batal karena meninggalnya salah satu pihak, seperti jual beli.
2.
Hukum Ijârah
Akibat hukum dalam ijârah
yang shohih adalah tetapnya hak milik atas manfa’at bagi musta’jir (penyewa)
dan tetapnya hak milik atas uang sewa atau upah bagi mu’jir (yang
menyewakan). Hal ini oleh karena akad ijârah adalah akad mu’âwadhah,
yang disebut dengan jual beli manfa’at.
Dalam ijârah fâsidah
apabila musta’jir telah menggunakan barang yang disewa maka ia wajib
membayar uang sewa yang berlaku (ujrotul mitsli). Menurut Hanafiyah,
kewajiban membayar ujrotul mitsli berlaku apabila rusaknya akad ijârah
tersebut karena syarat yang fâsid, bukan karena ketidak-jelasan harga,
atau tidak menyebutkan jenis pekerjaannya. Dalam hal ijârah fâsidah
karena dua hal yang disebutkan terakhir ini, maka upah atau uang sewa harus
dibayar penuh. Menurut imam Zufar dan Syafi’i, dalam ijârah fâsidah,
upah atau uang sewa harus dibayar penuh seperti halnya dalam jual beli. [12]
Ijârah ada dua macam:
1.
Ijârah atas manfaat
Ijârah atas manfaat dari suatu benda tertentu seperti
contoh: “Saya sewakan rumah ini padamu”, atau atas benda yang yang disifati,
contohnya: “Saya sewakan sebuah mobil yang sifatnya begini kepadamu untuk
dikendarai”, maka dinamakan ijâratul ‘ain, disebut juga sewa-menyewa.
Dalam ijârah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu
benda.
2.
Ijârah atas pekerjaan
Ijârah atas melaksanakan suatu pekerjaan yang diketahui,
misalnya membangun tembok bagi orang yang mempekerjakannya, maka dinamakan ijâratu
al-dzimmah disebut juga upah-mengupah. Dalam ijârah bagian kedua ini
objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.[13]
Adapun penjelasan hukum dari
masing-masing ijârah tersebut ialah sebagai berikut:
1.
Hukum
ijârah atas manfaat benda (sewa-menyewa)
Akad sewa-menyewa (ijâratul
‘ain) dibolehkan atas manfaat yang mubah seperti rumah untuk tempat
tinggal, toko dan kios untuk tempat berdagang, mobil untuk kendaraan atau
angkutan, pakaian dan perhiasan untuk dipakai. Adapun manfaat yang diharamkan
maka tidak boleh disewakan, karena barangnya diharamkan. Dengan demikian, tidak
boleh mengambil imbalan untuk manfaat yang diharamkan ini seperti bangkai dan
darah.[14]
2.
hukum
ijârah atas pekerjaan
(upah-mengupah)
Ijârah atas pekerjaan (ijâratu al-dzimmah) atau
upah-mengupah adalah suatu akad ijârah untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu. Misalnya membangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ke
tempat tertentu, memperbaiki mesin cuci, dan lain sebagainya. Orang yang
melakukan pekerjaan disebut ajîr (tenaga kerja).
Ajîr atau tenaga kerja ada dua macam:
a.
Ajîr (tenaga kerja) khusus, yaitu orang yang
bekerja pada suatu orang untuk masa tertentu. Ia tidak boleh bekerja untuk
orang lain selain orang yang telah mempekerjakannya. Contohnya pembantu rumah
tangga.
b.
Ajîr (tenaga kerja) musytarak, yaitu
orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang sehingga mereka bersekutu di
dalam memanfaatkan tenaganya. Contohnya tukang jahit, notaris dan lain-lain. Hukumnya adalah ia boleh bekerja
untuk semua orang dan orang yang menyewa tenaganya tidak boleh melarangnya
bekerja kepada orang lain. Ia tidak berhak atas upah kecuali dengan bekerja.[15]
Ijârah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang
tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijârah
merupakan akad pertukaran, kecuali didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijârah
akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a.
Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan
penyewa
b.
Rusaknya barang yang disewakan, seperti rusaknya rumah yang telah ditentukan dan sebagainya
c.
Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju
yang diupahkan untuk dijahitkan, karena tidak mungkin menyempurnakannya
setelah rusak
d.
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, selesainya pekerjaan, dan berakhirnya masa yang telah ditentukan
e.
Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijârah dari salah
satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia
dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.[16]
[1]
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz
III, (Kairo: Al-Fathu Lil i’lam
Al-‘Arobi, t.t.), 138.
[3] QS. Az-Zukhruf: 32.
[4] QS. Al-Baqoroh: 233.
[5] QS. Al-Qashash: 26.
[7] Abu Abdullah bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanatul
Ahkam, Jilid III, (Kuala
Lumpur: Al-Hidayah, 2010), 248.
[9]Abbas Arfan, Fiqhul Mu’amalat, 66.
[11] QS. An-Nisa’: 29.
[12] Syamsudin Ahmad bin Qoudar, Nataij
al-Afkar fii Kasyfi ar-Rumus wa Asrar, Juz 9, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.,
91.
[14] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,
(Jakarta: Amzah, 2010), 330.
[15] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, 146.
[16] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, 147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar