twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Oktober 2014

Makalah Ijarah


Secara etimologi, kata ijârah berasal dari kata al-ajru yang berarti upah atau ganti (al-‘iwadhu). Dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr. Sedangkan secara terminologi syara’, ijârah adalah akad atas suatu kemanfa’atan dengan adanya ganti atau upah. Maka, tidak sah menyewa pohon untuk diambil buahnya. Tidak sah pula menyewa emas dan perak, makanan untuk dimakan, benda yang ditakar maupun ditimbang karena barang-barang tersebut termasuk benda istihlâkî yang tidak bisa dimanfa’atkan kecuali dengan mengkonsumsinya. Begitu pula tidak sah menyewakan sapi,  kambing atau unta untuk diperas susunya. Hal ini karena ijârah ialah kepemilikan manfa’at, sedangkan dalam masalah ini ialah kepemilikan susu dan susu itu termasuk benda. Akad ijârah berlaku pada kepemilikan manfa’at, bukan kepemilikan benda.[1]
            Zuhaili mengemukakan bahwa ijârah adalah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang.[2]
            Jadi, ijârah adalah akad atas suatu manfa’at yang diperbolehkan dari barang yang tertentu atau atas jasa/pekerjaan tertentu dalam batasan waktu tertentu dengan adanya upah yang disepakati. Maka, akad ijârah bisa kita artikan dengan sewa-menyewa atau upah mengupah.

Ijârah dalam hukum islam diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, Al-Hadis, dan konsensus (ijma’) para ulama’. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ[3]
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ[4] 
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ[5]
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِين[6]
“Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
Sedangkan dalil-dalil hadis ialah sebagaimana berikut:
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللهُ تَعَالَى: ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِيْ ثُمَّ غَدَرَ, وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ, وَرَجَلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.[7]
“Dari Abu Hurairah R.A, beliau berkata: “Rasulullah bersabda: ”Allah SWT berfirman: “Ada tiga golongan yang menjadi musuh-Ku pada hari kiamat, yaitu orang yang berjanji dengan bersumpah menggunakan lafadz Allah lalu dia curang, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil jualannya itu dan orang yang mempekerjakan orang lain lalu dia bekerja dengan baik, namun tidak dibayar setelah pekerjaannya selesai”. (Diriwayatkan oleh Muslim: 936).
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْطُوْا الْأَجِيْرَ أَجْرَهُ  قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. رَواَهُ ابْنُ مَاجَه.[8]
“Dari Ibnu Umar R.A. beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Bayarlah upah buruh sebelum peluhnya kering”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Selain hadis tersebut dikisahkan bahwa Rasulullah SAW dan Abu Bakar As-Shiddiq menyewa Abdullah bin Uraiqoth untuk menunjukkan jalan menuju Madinah ketika hijrah.[9]
C.   Rukun dan Syarat Ijârah
1.    Rukun Ijârah
a.       Mu’jir (orang/barang yang disewa) yaitu orang yang memberikan upah dan menyewakan
b.      Musta’jir (orang yang menyewa) yaitu  orang yang  menerima upah untuk melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu
c.       Objek transaksi (manfaat) yaitu  Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas, seperti mengerjakan proyek, membajak sawah dan sebagainya
d.      Sîghat (ijab dan qabul) yaitu ijab qabul antara mu’jir dan musta’jir.  Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang dan jasa, sedangkan qabul adalah jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir.
e.       Imbalan atau Upah yaitu Upah sebagaimana terdapat dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.

2.        Syarat Ijârah
a.       Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal
b.      Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijârah
c.       Manfaat yang menjadi objek ijârah harus diketahui secara sempurna
d.      Objek Ijârah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat
e.       Manfaat dari objek yang diijârahkan harus dibolehkan oleh agama, maka tidak boleh ijârah terhadap maksiat.  Seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang orang lain
f.       Upah atau sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.[10]
            Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا[11]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan suka sama suka”.
1.      Sifat Ijârah
Ijârah menurut Hanafiyah adalah akad yang lazim, tetapi boleh di fasakh apabila terdapat udzur, sebagaimana yang telah diuraikan sebelum ini. Sedangkan menurut jumhur ulama’, ijârah adalah akad yang lazim (mengikat), yang tidak bisa di fasakh kecuali dengan sebab-sebab yang jelas, seperti adanya ‘aib (cacat) atau hilangnya objek manfa’at. Hal tersebut oleh karena ijârah adalah akad atas manfa’at. Di samping itu, ijârah adalah akad mu’âwadhah, sehingga tidak bisa dibatalkan begitu saja sama seperti jual beli.
Sebagai kelanjutan dari perbedaan tersebut, Hanafiyah berpendapat bahwa ijârah batal karena meninggalnya salah seorang pelaku akad, yakni musta’jir atau mu’jir. Hal itu karena apabila akad ijârah masih tetap maka manfa’at yang dimiliki oleh musta’jir atau uang sewa yang dimiliki oleh mu’jir berpindah kepada orang lain (ahli waris) yang tidak melakukan akad, dan hal ini tidak dibolehkan.
Sedangkan menurut jumhur ulama’ yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, ijârah tidak batal karena meninggalnya salah seorang pelaku akad karena ijârah merupakan akad yang lazim (mengikat) dan akad mu’âwadhah sehingga tidak bisa batal karena meninggalnya salah satu pihak, seperti jual beli.
2.      Hukum Ijârah
Akibat hukum dalam ijârah yang shohih adalah tetapnya hak milik atas manfa’at bagi musta’jir (penyewa) dan tetapnya hak milik atas uang sewa atau upah bagi mu’jir (yang menyewakan). Hal ini oleh karena akad ijârah adalah akad mu’âwadhah, yang disebut dengan jual beli manfa’at.
Dalam ijârah fâsidah apabila musta’jir telah menggunakan barang yang disewa maka ia wajib membayar uang sewa yang berlaku (ujrotul mitsli). Menurut Hanafiyah, kewajiban membayar ujrotul mitsli berlaku apabila rusaknya akad ijârah tersebut karena syarat yang fâsid, bukan karena ketidak-jelasan harga, atau tidak menyebutkan jenis pekerjaannya. Dalam hal ijârah fâsidah karena dua hal yang disebutkan terakhir ini, maka upah atau uang sewa harus dibayar penuh. Menurut imam Zufar dan Syafi’i, dalam ijârah fâsidah, upah atau uang sewa harus dibayar penuh seperti halnya dalam jual beli. [12]
Ijârah ada dua macam:
1.      Ijârah atas manfaat
Ijârah atas manfaat dari suatu benda tertentu seperti contoh: “Saya sewakan rumah ini padamu”, atau atas benda yang yang disifati, contohnya: “Saya sewakan sebuah mobil yang sifatnya begini kepadamu untuk dikendarai”, maka dinamakan ijâratul ‘ain, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijârah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.
2.      Ijârah atas pekerjaan
Ijârah atas melaksanakan suatu pekerjaan yang diketahui, misalnya membangun tembok bagi orang yang mempekerjakannya, maka dinamakan ijâratu al-dzimmah disebut juga upah-mengupah. Dalam ijârah bagian kedua ini objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.[13]
            Adapun penjelasan hukum dari masing-masing ijârah tersebut ialah sebagai berikut:
1.      Hukum ijârah atas manfaat benda (sewa-menyewa)
Akad sewa-menyewa (ijâratul ‘ain) dibolehkan atas manfaat yang mubah seperti rumah untuk tempat tinggal, toko dan kios untuk tempat berdagang, mobil untuk kendaraan atau angkutan, pakaian dan perhiasan untuk dipakai. Adapun manfaat yang diharamkan maka tidak boleh disewakan, karena barangnya diharamkan. Dengan demikian, tidak boleh mengambil imbalan untuk manfaat yang diharamkan ini seperti bangkai dan darah.[14]
2.      hukum ijârah atas pekerjaan (upah-mengupah)
Ijârah atas pekerjaan (ijâratu al-dzimmah) atau upah-mengupah adalah suatu akad ijârah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya membangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ke tempat tertentu, memperbaiki mesin cuci, dan lain sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajîr (tenaga kerja).
Ajîr atau tenaga kerja ada dua macam:
a.       Ajîr (tenaga kerja) khusus, yaitu orang yang bekerja pada suatu orang untuk masa tertentu. Ia tidak boleh bekerja untuk orang lain selain orang yang telah mempekerjakannya. Contohnya pembantu rumah tangga.
b.      Ajîr (tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya. Contohnya tukang jahit, notaris dan  lain-lain. Hukumnya adalah ia boleh bekerja untuk semua orang dan orang yang menyewa tenaganya tidak boleh melarangnya bekerja kepada orang lain. Ia tidak berhak atas upah kecuali dengan bekerja.[15]

F.     Pembatalan dan Berakhirnya Ijârah
            Ijârah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijârah merupakan akad pertukaran, kecuali didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
            Ijârah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a.         Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa
b.        Rusaknya barang yang disewakan, seperti rusaknya rumah yang telah ditentukan dan sebagainya
c.         Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan, karena tidak mungkin menyempurnakannya setelah rusak
d.        Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, selesainya pekerjaan, dan berakhirnya masa yang telah ditentukan
e.         Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijârah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.[16]



[1] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz III,  (Kairo: Al-Fathu Lil i’lam Al-‘Arobi, t.t.), 138.   
[2]Ismail Nawawi, Fikih Mu’amalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 185.
[3] QS. Az-Zukhruf: 32.
[4] QS. Al-Baqoroh: 233.
[5] QS. Al-Qashash: 26.
[6] QS. Al-Qashash: 27.
[7] Abu Abdullah bin Abd Al-Salam ‘Allusy, Ibanatul Ahkam, Jilid III,  (Kuala Lumpur: Al-Hidayah, 2010), 248.
[8]‘Allusy, Ibanatul Ahkam, 251.
[9]Abbas Arfan, Fiqhul Mu’amalat, 66.
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 117.
[11] QS. An-Nisa’: 29.
[12] Syamsudin Ahmad bin Qoudar, Nataij al-Afkar fii Kasyfi ar-Rumus wa Asrar, Juz 9, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., 91.
[13] Abbas Arfan, Fiqhul Mu’amalat,  70.
[14] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), 330.
[15] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, 146.
[16] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, 147.

Prinsip dan Karakteristik Fiqh

BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Prinsip-Prinsip Fiqh
Al Qur’an sebagai dasar agama Islam memuat beberapa macam perilaku orang mukallaf. Pertama: perilaku vertikal yaitu urusan manusia dengan Tuhan­nya (Ibadah), kedua: perilaku horisontal yaitu urusan manusia dengan manusia (Mu’amalah). Maka, fiqh sebagai produk dari Al-Quran ikut serta mengatur perilaku-perilaku tersebut.
Kaidah atau prinsip-prinsip dalam fiqh menghimpun seluruh persoalan fiqh. Menurut Imam An-Nadwi prinsip-prinsip fiqh adalah dasar-dasar fiqh yang mencakup berbagai hukum-hukum syari'ah dari berbagai bab pembahasan fiqh. Dengan berlandasan pada Al Quran dan As Sunnah, maka lahirlah lima prinsip universal yang menjadi rujukan permasalahan-permasalahan Fiqh ( baik Fiqh Ibadah maupun Muamalah ). Imam As Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah wan­nadzoir menyebutkan: agama islam dibangun atas lima dasar/asas, maka fiqhpun dibangun atas lima dasar, yaitu:
1.   الْأُمُور بِمَقَاصِدِهَا (segala sesuatu tergantung pada niatnya).
Dasar kaidah:
·         وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآَخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا[1]
Artinya: Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.
·         إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ[2]
Artinya: segala perbuatan tergantung pada niat.

Menurut As-Suyuthi, kaidah fiqh ini masuk dalam berbagai persoalan fiqh; baik fiqh ibadah, maupun mu'amalah.
·         Contoh dalam fiqh ibadah: Seseorang yang melakukan shalat dua raka'at misalnya, maka perbuatan shalat tersebut tergantung pada niat di dalam hatinya; apakah untuk shalat fardhu; atau sunnah; qashar atau penuh, sunnah tertentu atau sunnah muthlak. Semua tergantung pada niat yang ada di hati pelaku.
·         Contoh dalam persoalan mu'amalah: Seseorang yang mengarnbil barang temuan. Jika ia mengambil dengan niat menyimpannya untuk dicarikan pemiliknya dan dikembalikan kepadanya, maka berlaku `yad al-amanah' atau penguasaan karena kepercayaan. Sehingga, jika terjadi kerusakan pada barang tersebut yang tidak ia sengaja, maka tidak diminta menang­gung kerusakan tersebut. Tetapi jika niat mengambilnya untuk memiliki, maka yang berlaku adalah `yad adh-dhaman' atau penguasaan yang harus ditanggung. Sehingga, ia berkewajiban untuk menanggung segala kerusak­an yang terjadi pada barang yang diambilnya, apapun sebab yang menimbulkan kerusakan tersebut.

2.الْيَقِين لَا يُزَال بِالشَّكِّ( keyakinan tidak bisa dihilangkan sebab keraguan).
Dasar kaidah ini:
·         إن الشيطان ليأتى أحدكم وهو فى صلاته فيأخذ بشعرة من دبره فيمدها فيرى أنه أحدث فلا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا[3]
Artinya: Sesungguhnya setan akan mendatangi salah satu kalian dalam sholatnya. Kemudian setan mengambil rambut dari duburnya (musholli) dan memanjangkannya, sehingga ia melihat bahwa dirinya berhadats. Maka janganlah berpaling, sampai mendengar suara atau menemukan bau.
Contoh dalam permasalahan ibadah:
·         Apabila seseorang meyakini dirinya dalam keadaan suci, kemudian muncul keraguan bahwa dirinya berhadats, maka ia dalam keadaan suci.
·         Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah mencapai tiga atau empat rokaat, maka tiga rokaat yang dianggap karena lebih diyakini
Contoh dalam permasalahan muamalah:
·         Seorang penjual mobil menyatakan kepada pembeli bahwa mobil yang dijualnya dalam kondisi yang baik, kemudian si pembeli membelinya. Di lain hari pembeli komplin dan menyatakan bahwa terdapat cacat pada mobil tersebut. Maka, ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si penjual.

3.   الْمَشَقَّة تَجْلِب التَّيْسِير ( masyaqqot / kesulitan menarik kemudahan). Dasar kaidah:
·         يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ[4]
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
·         وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [5]
Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
·         وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:   بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ [6]
Artinya: Rosulullah SAW bersabda “Aku diutus dengan membawa agama yang mudah“
Contoh dalam masalah ibadah:
·         Seseorang yang tidak mampu melaksanakan sholat fardlu dengan berdiri, maka ia diperbolehkan melakukannya dengan duduk. Jika tidak bisa, maka boleh dengan tidur miring dan seterusnya.
·         Jika tidak menemukan air untuk dipakai berwudlu’, atau kesulitan menggunakan air sebab sakit, maka boleh mengganti wudlu’ dengan tayammum.
Contoh dalam mu’amalah:
·         Jika seorang perempuan yang tengah melaksanakan perjalanan, dan ia tidak menemukan wali untuk menikahkannya, maka ia boleh menentukan orang laki-laki sebagai walinya.

4.   الضَّرَر يُزَال ( madlarrat harus dihilangkan ). Dasar kaidah:
·         وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ[7]
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
·         قَوْله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ }[8]
Artinya: Tak berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain).
Contoh dalam ibadah:
·         Ketika seseorang ingin pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat jum’at, sementara di jalan ada perampokan dan dikhawatirkan keselamatannya, maka diperbolehkan baginya untuk sholat di rumah.
Contoh dalam muamalah:
·         Seorang pembeli boleh melaksanakan khiyar sebab ditemukannya cacat pada barang yang dijual
·         Boleh bagi laki-laki maupun perempuan untuk merusak pernikahan sebab adanya cacat

5.      الْعَادَة مُحَكَّمَةٌ ( kebiasaan bisa dijadikan hukum ). Dasar kaidah:
·         خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ[9]
Artinya:Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.

·         لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ }[10]
Artinya: segala hal yang dipandang baik oleh orang muslim, maka disisi Allahpun baik.
Contoh dalam ibadah:
·         Ketentuan minimal dan maksimalnya masa haid, nifas bagi perempuan tergantung pada kebiasaan.
Contoh dalam muamalah:
·         Pembayaran makanan dilakukan setelah selesai makan.
·         Penggunaan ATM dalam bertransaksi.

Lima prinsip diatas merupakan prinsip pokok bagi fiqh baik ibadah maupun mu’amalah. Jika kita ambil garis besar dari prinsip diatas, maka bisa kita fahami bahwa masing-masing fiqh ibadah maupun mu’amalah memiliki prinsip dan karakteristik yang berbeda.

2.1.1 Prinsip Fiqh Ibadah
Fiqh ibadah mempunyai beberapa prinsip tersendiri yang membedakannya dari fiqh mu’amalah, prinsip-prinsip tersebut yaitu:
1) الأصل في العبادات التعبد
Prinsip dasar ibadah adalah ta'abbud (penghambaan kepada Allah). Dalam arti menjalankan perintah dan menjahui larangan Allah apa adanya tanpa memper­tanya­kan illat, hikmah dan maslahahnya. Allah SWT berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ[11]
Artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku.
Segala sesuatu yang diperintah maupun dilarang Allah, pasti mengandung nilai kemaslahatan bagi hambaNya. Contoh:
·         Larangan Allah berupa makan babi.  Ilmu kedokteran mengetahui bahwa ada resiko besar atas banyak macam penyakit. Babi diketahui sebagai inang dari banyak macam parasit dan penyakit berbahaya.
·         Larangan berzina. Perzinahan menyebabkan perwalian anak tidak bisa mengikuti pada ayahnya. Dan hal ini akan berdampak pada kehidupan sosialnya.
·         Perintah Allah untuk melaksanakan sholat tahajjud. Waktu malam hari adalah salah satu waktu dikabulkannya doa.
إِنَّ مِنَ اللَّيْلِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللّهَ خَيْرًا اِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ[12]
Selain itu tahajjud memiliki energi positif bagi daya tahan tubuh seseorang, seperti: Tahajjud mencegah pembekuan lemak, mencegah penyakit mata dll.
2) إن الله لا يعبد إلا بما شرع
Ibadah kepada Allah harus dengan bentuk dan tata-cara yang ditetapkan dan ditentukan oleh Allah sendiri. Amal ibadah dengan tata-cara dan bentuk dari hasil kreasi manusia adalah bid’ah.
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ)  رواه البخاري ومسلم[13]، وفي رواية لمسلم (مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)[14]
Setiap ibadah yang kita lakukan harus berdasarkan pada Al Quran, As Sunnah. Ijma’ maupun Qiyas. Ketika turun perintah sholat didalam Al Qur’an, dan al Quran tidak menyebutkan tata cara pelaksanaannya, maka As Sunnahlah yang berperan dalam memberi penjelasan mengenai hal tersebut. Sesuai sabda Nabi:
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat”.
3) العبرة في العبادات بالمباني والمعاني
Dalam Ibadah, format (dzohir) dan hakikat (bathin) harus berjalan seiringan. Shalat misalnya, dimensi luarnya adalah gerakan-gerakan mulai dari mengangkat tangan, berdiri, rukuk, sujud sampai pada menolehkan wajah ketika salam, dan bacaan-bacaan mulai dari do’a iftitah, fatihah sampai pada salam. Sedangkan dimensi hakikatnya adalah khusyû’ dan khudlû’ kepada Allah SWT.
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا[15]
Artinya: Selanjutnya, apabila kamu telah mneyelesaikan sholat(mu) ingatlah allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah sholat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

2.1.2 Prinsip Fiqh Mu’âmalah
Sebagaimana fiqh ibadah, fiqh mu’amalah pun memiliki beberapa prinsip dalam pemberlakuan hukumnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1) بناؤه على أساس المبادئ العامة
Fiqh mu’âmalah dibangun di atas prinsip-prinsip universal (al-mabâdi` al-âmmah), seperti nilai-nilai keadilan (al-‘adâlah), kesetaraan (al-musâwah),     musyawarah (al-syûrâ),saling membantu (al-ta’âwun), dan toleransi (al­-tasâmuh).   Dengan basis prinsip-prinsip tersebut, tercipta hubungan-hubungan sosial yang berkeadilan dan anti ketimpangan. Dasar dalil prinsip diatas adalah:
·         Keadilan:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ[16]
·         Saling membantu:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ[17]
·         Kesetaraan dan toleransi
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ[18]

·         Musyawarah:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ[19]
2) الأصل فى المعاملات الإلتفات الى المعاني
Prinsip fiqh mu’âmalah adalah mengutamakan substansi daripada format. Dalam transaksi jual beli, misalnya, sangat diperhatikan prinsip tarâdlin (suka sama suka) sebagai substansi. Sedangkan ijab-qabul (peryataan verbal) tak lain adalah format yang memanifestasikan tarâdlin. Dalam mu’âmalah dimensi luar bisa berubah sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ[20]
3) الأصل فى المعاملات الإباحة
Pada dasarnya mu’âmalât adalah diperbolehkan (al-ibâhah). Ini berarti, untuk membolehkan suatu praktik mu’âmalah tidak diperlukan dalil yang membolehkannya, baik nash Al-Quran maupun nash Al-Hadits, baik secara langsung maupun tidak langsung selama tidak ada dalil yang melarangnya. Hal ini sesuai dengan kaedah yang berbunyi:
الأصل في الأشياء الإباحة [21]
Segala sesuatu selama tidak ada dalil yang mengharamkannya maka hukumnya boleh.


2.2  Karakteristik Fiqh
Fiqh islam mempunyai keistimewaan dan karakteristik khusus, antara lain sebagai berikut:
1.      Fiqh Islam itu Dasarnya Adalah Wahyu Ilahi.
Keistimewaan fiqh islam dibanding undang-undang buatan manusia adalah bahwa fiqh islam bersumber pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Quran dan sunnah Nabi.  Maka setiap mujtahid dalam melakukan istimbath (deduksi/peng­gali­an) hukum-hukum syara’ selalu merujuk dan mendaratkan pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahami ruh syari’at, tujuan-tujuannya secara umum, kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip umum.   Dengan begitu, maka pertumbuhan fiqh islam menjadi sempurna, bangunan epistemo­logi­­­­nya jelas dan tiang-tiang penyangganya kuat, karena prinsip dasarnya kuat dan sem­purna (yaitu wahyu).  Allah SWT berfirman: “...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan pula nikmat-Ku untukmu, dan Aku rela Islam menjadi agamamu .....” (QS. Al-Maidah [5]:3).
Setelah itu, tidak ada yang lain kecuali tinggal menerapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang sesuai dengan tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah).
 2.      Fiqh Islam bersifat Komprehensif, Mencakup Seluruh Aspek Kebutuhan Hidup.
Fiqh islam bersifat komprehensif, yakni mencakup seluruh tuntutan kehidupan manusia.  Fiqh Islam mempunyai kelebihan dibanding sistem undang-undang yang lain, karena ia mencakup tiga aspek hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan masyara­kat­nya.  Karena Islam itu mengatur urusan dunia akhirat, Islam itu agama dan negara (al-Islamu din wa al- daulah),  bersifat umum untuk seluruh manusia dan kekal sampai hari kiamat.
Tidaklah mengherankan jika kemudian hukum-hukum Islam itu biasanya berkutat dalam persoalan aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah.  Karena tujuannya adalah agar manusia menyadari dengan sepenuh hati bahwa Allah selalu mengawasi, baik dalam masalah yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.  Di samping itu, juga agar manusia mau menghormati hak-hak orang lain, sehingga mereka benar-benar merasa tenang dan bahagia, baik dalam kehidu­p­an yang bersifat khusus maupun umum.
Oleh karena itu, maka hukum-hukum praktis (fiqh) yang terkait dengan perbuatan seorang mukallaf, baik berupa ucapan, perbuatan transaksi selalu mencakup dua aspek, yaitu hukum-hukum ibadahdan hukum-hukum mu’amalat.
Hukum-hukum ibadah meliputi persoalan bersuci, shalat, puasa, haji, zakat, nazar, sumpah, dan lain sebagainya; pokoknya, segala hal yang terkait dengan hukum-hukum yang dimaksudkan untuk mengatur sistem hubungan manusia dengan Tuhannya.  Di dalam Al-Qur’an hukum-hukum yang terkait dengan masalah ini kurang lebih ada 140 ayat.
Sedangkan hukum-hukum mu’amalah meliputi persoalan akad-transaksi, tasarruf (pembelanjaan harta), hukuman, pidana, jaminan dan lain sebagainya. Pokoknya, hukum-hukum yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan sesama, baik bersifat pribadi maupun kelompok.  Hukum-hukum mu’amalat itu dirinci lagi menjadi:
a.       Hukum ahwal al syakhsiyyah, yaitu hukum-hukum yang terkait dengan masalah keluarga, seperti pernikahan, talaq (cerai), pernasaban, nafaqah (nafkah), warisan. Hukum ahwal al syakhsiyyah itu dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara suami istri, dan mengatur hubungan kerabat yang satu dengan yang lainnya.
b.      Hukum-hukum perdata, yaitu hukum yang terkait dengan masalah mu’amalah atau tukar-menukar, seperti masalah jual beli, persewaan, penggadaian, tanggungan, perseroan, hutang piutang, pemenuhan janji. Hukum-hukum perdata itu dimaksudkan untuk mengatur hubungan seseorang mengenai masalah harta dan untuk menjaga hak-haknya.  Di dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih tujuh puluh ayat yang berbicara mengenai masalah tersebut.
c.       Hukum-hukum pidana, yaitu hukum-hukum yang terkait dengan persoalan kejahatan yang muncul dari seorang mukallaf dan menyebabkan ia harus diberi hukuman.  Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehidupan manusia, harta, kehormatan dan hak-hak mereka.  Di samping itu, juga untuk mem­batasi hubungan antara orang yang menjadi korban (al-mujna’alaih) dan yang melakukan tindak kejahatan (al-jani),  serta umat manusia pada umum­­­nya.  Di dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih tiga puluh ayat me­ngenai hukum pidana.[22]
d.      Hukum proses persidangan baik kasus perdata maupun pidana (al-ahkaam al-muraafa’at).  Yaitu, hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah kehakiman, prosedur melakukan tuduhan, prosedur penetapan suatu kasus baik dengan menggunakan saksi, sumpah, bukti, atau lainnya.  Hukum-hukum dalam masalah ini dimaksudkan untuk mengatur prosedur penegak­an keadilan di tengah-tengah masyarakat.  Dalam Al-Qur’an terdapat sekitar dua puluh ayat yang mengatur masalah ini.
e.       Hukum pemerintahan (al-ahkaam d-dustuuriyyah).  Yaitu, hukum-hukum yang berhubungan dengan sistem pemerintahan dan juga dasar-dasar peme­rintahan.  Dengan adanya hukum ini, maka hubungan antara peme­rin­tah dengan rakyat dapat tertata dengan baik, hak dan kewajiban individu serta masyarakat dapat diketahui dengan jelas.
f.       Hukum internasional (al-ahkaam ad-dauliyyah). Yaitu, hukum-hukum yang membahas masalah tata tertib hubungan antara negara islam dengan negara-negara lainnya, baik dalam kondisi damai maupun kondisi perang.  Bagian ini juga membahas hubungan warga negara non-Muslim dengan pemerintah, masalah jihad, dan juga masalah perjanjian damai.  Dengan adanya hukum ini, maka bentuk hubungan antara satu negara dengan yang lainnya dapat terjalin dengan baik, saling menolong, dan saling menghormati.[23]
g.      Hukum perekonomian, yaitu hukum yang terkait dengan masalah harta seseorang dan ketentuan yang harus ditaati.  Termasuk di dalamnya adalah hak-hak dan kewajiban negara untuk masalah ini, sistem penghasilan ne­gara dan sistem pembelanjaannya, di samping juga untuk mengatur sistem hubungan antara orang-orang kaya dengan yang miskin, negara dengan rakyat­nya, terutama menyangkut masalah harta negara yang khusus maupun yang umum, seperti harta rampasan perang, perpajakan, barang tambang baik migas maupun non migas, hasil alam, harta rakyat, seperti zakat, sadaqah, nazar, pinjaman, harta keluarga ,seperti infaq, warisan, wasiat, dan harta pribadi seperti keuntungan berdagang, sewa-menyewa, perseroan dan setiap hasil-hasil produksi lainnya.

3.      Fiqih Islam Itu Berbicara Tentang Halal-Haram
Salah satu perbedaan antara fiqih islam dengan undang-undang hukum positif adalah bahwa dalam fiqih Islam selalu ada pemikiran mengenai halal-haram terhadap setiap tindakan muamalah, tidak hanya persoalan-persoalan yang bersifat duniawi, tapi juga yang bersifat ukhrawi.
Hukum duniawi ini titik tekannya adalah hal-hal yang bersifat zahir atau eksoteris (hal-hal yang tampak) dan tidak mempersoalkan hal-hal yang bersifat esoteris (tidak tampak).  Itulah yang disebut keputusan hukum (al-hukmu al-qada’i) dari seorang hakim.  Seorang hakim hanya dapat memutuskan perkara berdasarkan bukti-bukti zahir dan formal.  Keputusan hakim sebenarnya tidak dapat menjadikan hal yang batal (salah) menjadi benar, atau sebaliknya yang benar menjadi salah; menjadikan yang halal menjadi haram, atau yang haram menjadi halal dalam kenyataannya.  Putusan hakim itu harus diberlakukan, hal ini berbeda dengan fatwa, yang tidak harus diberlakukan.
Sedang hukum akhirat ini didasarkan pada kebenaran material yang hakiki, meskipun bagi seorang (misalnya hakim) hal itu sangat samar dan tidak tampak. Sebab yang memutuskan dalam hal ini adalah Allah SWT.  Putusan ini diberlaku­kan oleh Allah langsung untuk hamba-hambanya.
Salah satu dasar pijakan epistemologi mengenai pembagian hukum tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para imam hadis Kutub Al-Sittah, di mana Rasulullah SAW pernah bersabda : “Sesungguhnya aku hanya­lah manusia dan sesungguhnya kalian bertengkar (untuk mengaadukan persoalan hukum) kepadaku. Mungkin sebagian kalian lebih pandai dalam berargumentasi dibanding yang lainnya, sehingga aku memutuskan hukum yang cenderung meng­un­tungkan kalian sesuai dengan informasi (bukti-bukti material) yang saya dengar.  Maka barang siapa yang aku putuskan hukum untuknya, dengan merugi­kan hak muslim yang lain, sesungguhnya hal itu merupakan potongan dari api neraka, maka silahkan mengambilnya atau meninggalkannya.”
Salah satu faktor munculnya kategori sifat seperti itu adalah karena syariat itu merupakan wahyu Allah yang menjanjikan pahala dan siksa akhirat.  Syariat itu adalah sistem undang-undang yang bersifat ruhiyyah sekaligus badaniyyah (badan).  Karena ia datang untuk kebaikan dunia dan akhirat atau agama dan dunia.
Implikasi dari pembagian hukum tersebut misalnya tampak dalam masalah talaq (cerai), sumpah, hutang-piutang, pembebasan, paksaan dan lain sebagainya. Berdasarkan hal itu, maka tugas seorang qadi (hakim) itu berbeda dengan tugas seorang mufti (ahli fatwa).  Seorang qadi (hakim) menetapkan hukum berdasarkan bukti-bukti lahir (yang formal) saja, sedangkan seorang mufti dalam menetapkan hukum tetap menjaga aspek batin dan lahir secara bersama. Maka apabila terjadi perselisihan dua orang yang secara lahir sama-sama kuat, maka dalam keputusan hukum, seorang mufti mendasarkan putusannya berdasarkan bukti-bukti batin, jika memang tampak baginya.
Sebagai contoh, jika ada seseorang yang telah membebaskan hutangnya kepada piutangnya (orang yang berhutang) tetapi pihak piutang tersebut tidak tahu kalau hutangnya telah dibebaskan, lalu dikemudian hari orang tersebut menuntut kepada pihak piutang agar melunasi hutangnya, maka hakim (qadi) akan memu­tus­­kan bahwa dia dalam (piutang) tetap punya hutang dan wajib membayarnya.  Hal itu berbeda dengan putusan fatwa.  Menurut keputusan fatwa, maka orang tersebut (piutang) tidak lagi harus membayar hutangnya karena telah ada ibra’ (pembebasan hutang) meski yang berhutang tidak tahu.
4.      Fiqih Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral
Fiqih Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena ia terpengaruh dengan undang-undang moral (qawaid al-akhlaq), bahkan ia menyempurnakannya. Undang-undang positif buatan manusia (al-Qanun al-Wad’iyyi) hanya mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat, meskipun kadang menghancurkan sebagian prinsip agama dan moral.
Adapun Fiqih Islam ingin menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya moralitas. Tasyri’ ibadah misalnya, dimaksudkan untuk mensucikan dan mem­bersih­kan jiwa, serta menjauhkan  dari hal-hal munkar. Diharamkannya riba dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong menolong (ruh ta’awun), kasih sayang diantara manusia dan melindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik harta. Demikian pula larangan menipu dalam transaksi, larangan makan harta dengan cara yang batal, serta membatalkan akad, sebab ketidaktahu­an (al-jahalah) atau cacat yang sudah maklum dan lain sebagainya. Semua itu dimak­sud­kan untuk menyebarkan cinta kasih, menjaga kepercayaan dan meng­hindar­kan pertentangan diantara manusia.  Disamping itu juga untuk menjaga hak-hak orang lain.  Demikian halnya dengan perintah untuk melaksanakan akad transaksi, yang dimaksudkan untuk menjaga janji, diharamkannya minuman keras (khamr) yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang salah satu fungsinya sebagai tolak ukur baik dan benar.
            Apabila agama dan akhlak saling menopang dalam kegiatan muamalah maka kemaslahatan masing-masing masyarakat akan menjadi nyata, kebahagiaan mereka di akhirat juga akan tercapai.  Dengan begitu, maka tujuan fiqih adalah untuk kebaikan di masa sekarang maupun yang akan datang dan kebahagiaan dunia akhirat.
            Pengaruh agama dan akhlak dalam fiqih islam (syariat islam) dapat menjadikan syariat lebih diamalkan, dihormati dan ditaati, sementara undang-undang buatan manusia (al-Qanun al-Wad’iyyi) cenderung untuk dilanggar oleh orang-orang, terutama oleh para penguasa sendiri.
5.      Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan Akhirat
Fiqih islam berbeda dari undang-undang konvensional buatan manusia (al-Qanun Al-Wad’iyyi) yang hanya menetapkan hukuman di dunia saja bagi orang yang melanggarnya, karena fiqih islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud yang sudah ditentukan maupun ta’zir yang tidak ditentukan terhadap perbuatan manusia yang bersifat zahir, dan hukuman akhirat atas perbuatan hati yang tidak tampak oleh manusia, seperti iri hati, berniat merugikan orang lain, dan atas perbuatan lahir yang belum dikenakan sanksi (siksa) di dunia, yang boleh jadi hal itu disebabkan karena mengabaikan hukuman tersebut, seperti yang terjadi di kebanyakan negara-negara sekarang ini, atau karena tidak adanya putusan hukum, atau tindakan pelanggaran tersebut tidak sempat diketahui oleh para penegak hukum.
            Demikian pula hukuman atau balasan dalam fiqih islam bersifat positif dan negatif. Dikatakan positif karena dalam pelaksanaan hukuman tersebut terdapat pahala disebabkan oleh sikap ketaatan seseorang kepada perintah-perintah Allah.  Dikatakan negatif karena hukuman tersebut menetapkan pahala bagi seseorang karena menjauhi larangan dan maksiat kepada Allah.
            Adapun undang-undang pada umumnya hanya terbatas pada penetapan hukuman yang bersifat negatif (salbi) yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap hukuman-hukuman tersebut, tanpa adanya penetapan pahala (reward) bagi pihak yang dihukum karena taat menjalankan hukuman tersebut.
6.      Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih Islam
Artinya, dalam fiqih Islam itu selalu menjaga kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Oleh sebab itu, kemaslahatan bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual, terutama ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan individual dengan kemaslahatan sosial yang bersifat umum. Demikian pula ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang menimpa dua hal yang lebih besar bahayanya.  Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَار[24] (Tak berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain) dan kaidah yang berbunyi: الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف[25] “menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil resiko yang lebih kecil dari keduanya.”
            Contoh kasus dalam rangka  menjaga kemaslahatan umum adalah disyari’atkannya ibadah shalat, puasa dan lain sebagainya.  Selain itu adalah dihalalkannya jual beli dan diharanmkannya riba, diharamkannya menyimpan barang dagangan dan jual beli bi saman al-misli, dan lain sebagainya. Termasuk dalam rangka menjaga kemaslahatan umum adalah ditegakkannya hukuman hudud terhadap para pelaku kemungkaran yang berbahaya, pengaturan keluarga, menjaga hak-hak tetangga, menepati janji dan jual beli secara paksa (dengan ganti rugi misalnya menjual tanah) untuk kepentingan umum, seperti kepentingan untuk membuat masjid, madrasah, rumah sakit, kuburan dan lain sebagainya.
            Adapun contoh dibatasinya hak pribadi seseorang ketika membahayakan kepentingan umum adalah bahwa seorang istri tidak harus taat kepada suami apabila suami membuat madarat kepadanya.  Hal ini sejalan dengan Firman Allah:
            “Janganlah kalian mengekangnya karena untuk membuat bahaya agar mereka ber‘iddah” (Qs. Al-Baqarah[2]:231).
            Demikian pula tidak wajib taat kepada penguasa jika ia memerintahkan kemaksiatan atau mengingkari kemaslahatan umum.  Sebab, ketaatan itu hanya pada hal yang ma’ruf (baik). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “Wajib mendengar dan taat kepada seorang muslim terhadap sesuatu, baik ia suka maupun tidak suka selagi tidak diperintah untuk bermaksiat. Maka apabila ia memerintahkan berbuat maksiat maka tidak ada keharusan untuk mendengarkan dan mentaatinya (HR. Ahmad)


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Kaidah atau prinsip-prinsip dalam fiqh menghimpun seluruh persoalan fiqh. Menurut Imam An-Nadwi prinsip-prinsip fiqh adalah dasar-dasar fiqh yang mencakup berbagai hukum-hukum syari'ah dari berbagai bab pembahasan fiqh. Dengan berlandasan pada Al Quran dan As Sunnah, maka lahirlah lima prinsip universal yang menjadi rujukan permasalahan-permasalahan Fiqh ( baik Fiqh Ibadah maupun Muamalah ). Lima prinsip tersebut adalah:
1.      الْأُمُور بِمَقَاصِدِهَا (segala sesuatu tergantung pada niatnya).
2.      الْيَقِين لَا يُزَال بِالشَّكِّ ( keyakinan tidak bisa dihilangkan sebab keraguan).
3.      الْمَشَقَّة تَجْلِب التَّيْسِير ( masyaqqot / kesulitan menarik kemudahan).
4.      الضَّرَر يُزَال ( madlarrat harus dihilangkan ).
5.      الْعَادَة مُحَكَّمَةٌ ( kebiasaan bisa dijadikan hukum ).
Fiqh ibadah mempunyai beberapa prinsip tersendiri yang membedakannya dari fiqh mu’amalah, prinsip-prinsip tersebut yaitu:
1.   الأصل في العبادات التعبد (Prinsip dasar ibadah adalah ta'abbud (penghambaan kepada Allah).
2.   إن الله لا يعبد إلا بما شرع Ibadah kepada Allah harus dengan bentuk dan tata-cara yang ditetapkan dan ditentukan oleh Allah sendiri.
3.   العبرة في العبادات بالمباني والمعاني Dalam Ibadah, format (dzohir) dan hakikat (bathin) harus berjalan seiringan.
Sebagaimana fiqh ibadah, fiqh mu’amalah pun memiliki beberapa prinsip dalam pemberlakuan hukumnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1.      بناؤه على أساس المبادئ العامة
Fiqh mu’âmalah dibangun di atas prinsip-prinsip universal (al-mabâdi` al-âmmah), seperti nilai-nilai keadilan (al-‘adâlah), kesetaraan (al-musâwah),     musyawarah (al-syûrâ),saling membantu (al-ta’âwun), dan toleransi (al­-tasâmuh).   Dengan basis prinsip-prinsip tersebut, tercipta hubungan-hubungan sosial yang berkeadilan dan anti ketimpangan.
2.      الأصل فى المعاملات الإلتفات الى المعاني
Prinsip fiqh mu’âmalah adalah mengutamakan substansi daripada format.
3.      الأصل فى المعاملات الإباحة
Pada dasarnya mu’âmalât adalah diperbolehkan (al-ibâhah).
Fiqh islam mempunyai keistimewaan dan karakteristik khusus, antara lain sebagai berikut:
1.      Fiqh islam itu dasarnya adalah Wahyu Ilahi.
2.      Fiqh Islam bersifat Komprehensif, Mencakup Seluruh Aspek Kebutuhan Hidup.
3.      Fiqih Islam Itu Berbicara Tentang Halal-Haram
4.      Fiqih Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral
5.      Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan Akhirat
6.      Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih Islam
3.2 Saran
 Semoga dengan makalah ini, kita bisa lebih memahami tentang prinsip-prinsip dan karaktristik fiqh. Karena dengan pahamnya seseorang tentang fiqh,insya Allah akan menambah kesempurnaan dalam beribadah.  Sehingga tidak goyah dan was-was, dan yang paling penting adalah agar kita tidak terprovokasi dalam isu-isu yang tidak jelas dasarnya, sehingga hablun minallah dan hablu minannas yang baik dapat terwujud.

Kami sadar dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, sangat kami harapkan. Karena dengan saran dan kritik dari semuanya akan membantu kami dalam penulisan untuk kedepan.
Dan kami minta maaf dengan segala kekurangan yang ada, baik dari penyusunan, penulisan, dan kesalahan kata.


Daftar Pustaka
1.      Al-Quran
2.       Imam Assuyuti, Al Asybah Wan Nadzoir, Maktabah Syamilah
3.      Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah
4.      Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam Pergumulan Teks dan Realitas, eLSAQ press, Jogjakarta, tahun 2003.
5.      Zuhaili, Wahbah.2007.Fiqh Islam. Darul Fikr.



[1] QS. Ali Imron:145
[2] Sohih Al Bukhori, 3
[3] Imam As Suyuthi, Jami’ul Ahadits, 345
[4] QS: Al Baqoroh: 185
[5] QS. Al-Hajj:17
[6] Imam As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadhoir, hal.8
[7] QS. Al-A’rof:55
[8] Imam As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadhoir, hal.8
[9] QS. Al-A’rof:199
[10] Imam As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadhoir, hal.8
[11] QS. Adz-Dzariyat:56
[12] Imam Abu Hasan Muslim bin Al Hajjaj, Sohih Muslim, 312
[13] Imam Abu Hasan Muslim bin Al Hajjaj, Sohih Muslim, 119
[14] Ibid
[15] QS. An-Nisa’:103
[16]  QS. An-Nisa’:58
[17] QS, Al Maidah:2
[18] QS, An Nahl: 90
[19] QS, As Syuro: 38
[20] QS, An Nisa’: 29
[21] Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah, hal. 48
[22] Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam Pergumulan Teks dan Realitas, eLSAQ press, Jogjakarta, tahun 2003, hal. 82-84
[23] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU 1, Gema Insani, hal. 31
[24] Imam As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadhoir, hal.8
[25] Dr. Muhammad Sidqi Bin Ahmad Al-Burnu, Al-Wajiz, Muassasah Ar-Risalah, hal.83