Dalam kehidupan rumah tangga dimungkinkan terjadinya nusyuz karena
ombak dalam bahtera rumah tangga semakin lama tentunya semakin besar. Islam pun
juga memperhatikan permasalahan ini. Dan dalam makalah ini akan dikupas dalam
pembahasan berikut.
Nusyuz secara etimologi berarti tempat yang tinggi.
Adapun secara terminologi maknanya ialah
pembangkangan seorang wanita terhadap
suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya. Seakan-akan
wanita itu merasa yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya.[1]
Ibnu
Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam lisan al-Arab mendefinisikan
nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak (suami atau istri)
terhadap pasanganya.
Wahbah
az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus,
mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap
apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap pasangannya. Ada yang
menyebutkan juga bahwa nusyuz berarti tidak taatnya suami atau isrti
terhadap pasanganya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang
sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”.[2]
Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua,
yakni nusyuznya istri dan nusyuznya suami. Karena watak mereka
berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda pula cara penyelesaiannya.
a. Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi
wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali
karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena
meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.
Allah berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيرًا
“wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha besar”.[3]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam
Qurthubi berkata, “Ketahuilah bahwa Allah tidak memerintahkan untuk memukul
seseorang jika ia melanggar kewajiban-Nya, kecuali dalam kasus nusyuz
ini dan kasus hudud yang tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan para istri dengan dosa besar lainnya.
Dalam pelaksanaan hukumnya pun, suami sendiri yang melaksanakannya bukan
penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal itu
tanpa proses pengadilan., tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini Allah
betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.”
Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukuman dalam ayat di atas, ini disebabkan oleh perbedaan dalam
memahami huruf waw ‘athaf. Apakah huruf itu menunjukkan penggabungan
secara mutlak sehingga suami cukup memberikan satu saja dari hukuman-hukuman
kepada istrinya dan/atau menetapkan keduannya, atau apakah huruf itu
menunjukkan adanya urutan.
Dalam masalah ini terdapat
pendapat yang moderat, yaitu mengatakan bahwa penggabungan huruf waw
adalah penggabungan secara mutlak,
tetapi maksudnya penggabungan
berdasarkan urutan. Ini dapat ditinjau dari lafadznya.
Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn
al-Arabi berkata: “penafsiran terbaik yang pernah kudengar tentang ayat ini
adalah pendapat Sa’id ibn Jubair, ia berkata ‘suami harus terlebih dahulu
menasehati istrinya. Jika ia menolak maka suami harus memisahkannya dari tempat
tidurnya. Namun jika ia terus menolak, suami harus memukulnya. Lalu jika ia
tetap menolak, angkat atau tunjuk seorang penengah itulah yang akan melihat
dari siapa sumber petaka itu muncul. Baru setelah itu praktik khulu’
bisa diterapkan atas keduanya”.[4]
Tindakan yang
Dilakukan Suami Ketika Istrinya Nusyuz
Bagi suami, jika
telah jelas bahwa istrinya nusyuz karena dengan berpalingnya perilaku
istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan permusuhan,
kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh tiga tahapan
sebagai berikut:[5]
Pertama, Menasehati.
Dalam hal ini Allah SWT
berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
Yakni, suami memberi
nasehat kepada istri untuk ingat pada Allah dan takut kepada-Nya, serta
mengingatkan tentang kewajiban istri untuk taat kepada suaminya, dan memberi
pandangan tentang dosanya berselisih dengan suami dan membangkang terhadapnya,
dan hilangnya hak-hak istri baik dari suami baik berupa nafkah dan lain-lain.[7]
Adapun hal-hal yang dapat
dilakukan oleh suami ketika ia menasehati istrinya adalah sebagai berikut:
1.
Memperingatkan
istri dengan hukuman Allah SWT bagi perempuan yang bermalam sedangkan suami
marah dengannya.
2.
Mengancamnya
dengan tidak memberi sebagian kesenangan materiil.
3.
Mengingatkan
istri kepada sesuatu yang layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyuz,
diantaranya bisa berupa perceraian yang berdampak baginya keretakan eksistensi
keluarga dan terlantarnya anak-anak.
4.
Menjelaskan
istri tentang apa yang mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan yang ridha
dengan Tuhannya dan taat kepada suaminya. Nabi saw bersabda:
إِذَا
صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا،
وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شِئْتِ
“jika
seorang perempuan shalat lima waktu, puasa pada bulan puasa, menjaga
kemaluannya, taat kepada suaminya, dikatakan padanya “masuklah engkau ke surga
dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.”[8]
5. Menasehati istri dengan mengingatkan perintah kitabullah, yang mewajibkan perempuan
untuk bersama dengan baik, bergaul dengan baik terhadap suami, dan mengakui
posisi suami atasnya.
6.
Menasehati
istri dengan menyebutkan hadis-hadis nabi, menyebutkan sejarah hidup ibu
orang-orang mukmin, semoga Allah member keridhaan bagi mereka.
7.
Memilih
waktu dan tempat yang sesuai untuk berbicara, kecuali memeperbanyak sikap untuk
mengokohkan dan menghilangkan kesulitan.
Pentingnya di dalam
memilih seorang istri yang solehah, karena sesungguhnya istri yang solehah
memiliki agama yang baik, mengharapkan ridha Allah SWT, menggembirakan suami
dan menampakkan kebaikan dunia dan akhirat. Al-Qur’an tidak pernah membatasi
begitu juga hadis-hadis dan juga ulama tafsir, fiqh terhadap apa yang terlihat
selama waktu tertentu. Seharusnya bagi suami untuk terus memberi nasehat kepada
istrinya dan mengutamakan hal tersebut sebelum berpindah pada fase pemecahan
selanjutnya.
Kedua, Berpisah
Tempat Tidur
Hal itu
dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, dan meninggalkan
pergaulan dengannya, berdasarkan firman Allah SWT:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur”[9]
Al-hajru maksudnya berpisah dari tempat
tidur yaitu suami tidak tidur bersama istrinya, memalingkan punggungnya dan
tidak bersetubuh dengannya. Jika istri mencintai suami maka hal itu terasa
berat atasnya sehingga ia kembali baik. Jika ia masih marah maka dapat diketahui bahwa nusyuz
darinya sehingga jelas bahwa hal itu berawal darinya. Peninggalan ini menurut
ulama berakhir selama sebulan sebagaimana dilakukan oleh Nabi
saw ketika menawan Hafshah dengan perintah sehingga ia membuka diri tentang Nabi
kepada Aisyah dan mereka berdua mendatangi Nabi. Sebagaiman berpisah itu telah
bermanfaat dengan meninggalkan tempat tidur saja, tanpa meninggalkan berbicara
dengannya secara mutlak.[10]
Adapun Al-hajru
dalam berkomunikasi maka tidak diperbolehkan melebihi tiga hari, seperti
yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al-Anshori:
أن النبي صلى الله
عليه وسلم قال: لَا
يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ[11]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: tidaklah halal seorang
muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari”.
Hikmah
disyari’atkannya, telah disebutkan bahwa hikmah ditetapkannya hukuman pemisahan
terhadap perempuan termasuk hal yang lebih umum atas hukum Al-Qur’an, dan lebih
bermanfaat menengahi pertengkaran dalam pernikahan karena hal tersebut mengingatkan
perempuan dengan kodratnya yang wajib bagi laki-laki untuk taat di dalam
kedalaman penemuannya, yaitu menentukan harapan, keinginan dan melebihi
perasaan-perasaan indrawi.
Ketiga, Memukul
Jika dengan berpisah belum
berhasil, maka bagi suami berdasarkan Al-Qur’an diperintahkan untuk memukul
istrinya. Pemukulan ini tidak wajib menurut syara’dan juga tidak baik untuk
dilakukan. Hanya saja ini merupakan cara terakhir bagi laki-laki setelah ia
tidak mampu menundukkan istrinya, mengajaknya dengan bimbingan nasihat dan pemisahan. Hal ini
merupakan usaha untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran membersihkan
rumah tangga dari kepecahan yang dihadapinya.
Bagi suami
untuk memukul dengan pukulan yang halus tanpa menyakiti. Tidak meninggalkan
bekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidak menimbulkan luka.
Dan hendaknya suami tidak memukul wajah
dan anggota tubuh yang vital atau mengkhawatirkan. Karena
yang dimaksud dari pemukulan ini adalah memperbaiki hubungan, bukan merusak.[12]
روى أبو داود عن حكيم
بن معاوية القشيري عن أبيه قال: قلت يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ
أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟، قَالَ: «أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا
إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ،
وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ»[13]
Artinya: Abu Dawud meriwayatkan dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairi
dari ayahnya, beliau berkata: Aku bertanya, “wahai Rasulullah, apa hak istri
terhadap suami”? Beliau SAW menjawab: kamu memberinya makan ketika kamu makan,
dan memberinya pakaian ketika kamu berpakaian atau bekerja, dan janganlah kamu
memukul wajah, dan jangan menjelek-jelekkan, dan jangan mendiamkan kecuali di
rumah”.
Adapun suami boleh memukul dengan tangan, tongkat yang
ringan, dan benda-benda lain yang tidak membahayakan. Namun yang lebih utama
ialah cukup dengan menakut-nakuti saja tanpa adanya pukulan[14].
Keempat, mengutus
dua orang hakam
Jika cara-cara di atas telah ditempuh namun tidak
berhasil, dan pada akhirnya masing-masing mendakwa berbuat aniaya dan tidak
bukti bagi keduanya, maka permasalahan dibawa kepada hakim agar diutuslah dua
orang hakam kepada suami istri tersebut, seorang hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak istri untuk mendamaikan atau memisahkan keduanya.
Seperti halnya firman Allah SWT:
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ
وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
b.
Nusyuz Suami
Allah SWT berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ
تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Dan
jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. dan
perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya
adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu
dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[16]
Sebelumnya manhaj Islam pada
pembahasan sebelum ini telah mengatur masalah nusyuz dari pihak istri dan
prosedur yang ditempuh guna menjaga keutuhan keluarga. Permasalahan sekarang
apabila nusyuz itu datang dari pihak suami atau sikap cuek dan
berpalingnya suami sehingga dapat mengancam keamanan dan kehormatan istri serta
mengancam keselamatan keluarga. Sesungguhnya perasaan bisa berubah-ubah.
Sedangkan Islam adalah Manhajul Hayah (pedoman hidup) yang dapat
mengatur semua bagian permasalahan yang ada dalam kehidupan. Adapun nusyuz
dari pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk
menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai
beban berat lainnya bagi istri. Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah
suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan. Nusyuz
suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1.
Memberikan mahar sesuai dengan
permintaan isteri.
2.
Memberikan nafkah zahir sesuai dengan
pendapatan suami.
3.
Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan
dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi
sesuai dengan keadaan di rumah isteri.
4.
Memberikan rasa aman dan nyaman dalam
rumah tangga.
5.
Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih
dari satu.
6. berbuat
adil diantara anak-anaknya.
Adapun cara penyelesaiannya yaitu
dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini tidak berhasil maka
suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa
datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui
Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an
surat an-Nisa’ ayat 35 sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ
بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ
يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا
خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatir ada
persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam
tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada
suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
Apabila
suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan maka istri berhak memfasakh suaminya melalui jalur
hukum.
2.1.3 Implikasi
Hukum yang Ditimbulkan Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz
menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada
suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang
dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz
dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu
(poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib
memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia
masih wajib memberikan tempat tinggal. Sedangkan untuk nusyuz suami,
maka istri boleh melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat
kepada suami tersebut apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara
musyawarah.
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”al-syaqq”
yang berarti sisi, perselisihan (al khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan
atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan
keretakan yang sangat hebat antara suami istri.[17] Hal ini
dikarenakan adanya pencemaran kehormatan yang dilakukan oleh masing-masing
pihak.[18]
Irfan Sidqan juga mendefinisikan syiqaq secara
terminologis, yakni keadaan perselisihan yang terus-menerus antara suami istri
yang dikhawatirkan akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya
perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai (hakam)
untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No.
7 tahun 1989 syiqoq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus
menerus antara suami istri. Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung
dalam Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip
dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1
tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum
islam: ”antara
suami, dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Ketika syiqoq
terjadi antara suami istri dalam suatu rumah tangga dan permusuhan diantara
keduanya semakin kuat dan dikhawatirkan terjadi firqah
dan rumah tangga mereka nampak akan
runtuh maka hakim mengutus dua orang hakam
untuk memberi pandangan terhadap problem yang dihadapi keduanya, dan mencari
mashlahat bagi mereka, baik tetap atau berakhirnya rumah tangga. Allah SWT
berfirman:
Jika memang yang lebih mashlahah adalah talak maka
diputuskanlah perkaranya oleh hakim sebagai talak ba’in, karena tidak ada cara
lain untuk menghilangkan kemadhorotan kecuali dengan jalan tersebut. Karena
apabila diputuskan dengan talak raj’i yang memungkinkan untuk rujuk dalam masa
iddah dan itu berarti akan kembali kepada madhorot yang telah dialami.[20]
Hakamain merupakan bentuk tatsniyah
dari hakam yang berarti pendamai. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang
hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus.
2.3.2 Persyaratan Hakamain
Bagi kedua hakam disyaratkan harus laki-laki, adil, berpengalaman atau cakap dengan hal-hal
yang diharapkan dalam urusan ini. Dan disunnahkan kedua pendamai ini dari
keluarga sendiri, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak
istri sebagaimana yang tersirat dalam ayat. Jika dari keluarganya tidak ada
yang bisa dijadikan hakam, maka hakim mengutus dua orang laki-laki lain. Dan
sebaiknya dari tetangga suami istri tersebut, yakni orang yang cakap dan
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan suami istri, dan dianggap mampu
mendatangkan perdamaian di antara keduanya.[21] Hakamain tersebut juga harus bebas dari
pengaruh-pengaruh yang dapat merusak suasana dan mempersulit permasalahan.
Mereka juga harus menjaga citra suami istri tersebut serta menjaga rahasia
keduanya.[22]
2.3.3 Tugas dan Wewenang Hakamain
Dalam mengatasi
problem yang terjadi di antara suami istri, hakamain yang juga sebagai mediator
mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas dari hakamain ialah harus bertindak
dengan mempertimbangkan mashlahah, baik berupa tetap atau selesainya
pernikahan, bukan mengedepankan hajat suami, istri atau perwakilannya. Ini adalah pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Salamah Bin Abdur
Rahman, As-Sya’bi, An-Nakho’i, Sa’id Bin Jubair, Malik, Al-Auza’i, Ishaq dan
Ibnu Al-Mundzir.[23]
Terkait wewenang
hakamain terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’. Ulama’ Malikiyyah
berpendapat bahwa hakamain boleh memutuskan perkara tanpa izin dari suami istri
atau persetujuan hakim setelah hakamain tidak mampu untuk mendamaikan keduanya.
Dan jika mereka memutuskan dengan pisah maka berarti talak bain. Adapun ulama’
Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hakamain hanyalah wakil dari suami
istri. Jadi mereka tidak punya wewenang untuk memutuskan pisah dengan
menjatuhkan talak kecuali dengan izin suami istri tersebut. Sedangkan ulama’
Hanafiyah berpendapat bahwa hakamain harus mengajukan perkaranya kepada hakim,
lalu kemudian hakim yang menjatuhkan talak, yakni talak bain sesuai dengan yang
ditetapkan hakamain. Jadi hakamain tidak punya wewenang dalam menjatuhkan
putusan tersebut.[24]
Nusyuz secara etimologi adalah tempat yang tinggi. Adapun secara
terminologis maknanya pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam
hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya. Seakan-akan wanita itu merasa
yang paling tinggi. Nusyuz hukumnya
haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz
jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati.
Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal
yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan. Nusyuz adakalanya dari
pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk
menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai
beban berat lainnya bagi istri. Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah
suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan.
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”Syiqaqa”
yang berarti sisi, perselisihan (al khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan
atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang
sangat hebat antara suami istri.
Secara Etimologi, hakamain berarti
dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak
isteri untuk menyelesaikan kasus. Dan bagi kedua hakam disyaratkan harus berakal, baligh, adil, islam. Dan
tidak disyaratkan bahwa hakam itu harus dari salah seorang dari keluarga suami
atau istri, meskipun bukan anggota keluarga tetaplah dibolehkan. Namun
disunnahkan mengutus hakam dari keluarganya. hakamain harus bertindak dengan
mempertimbangkan mashlahah, baik berupa tetap atau selesainya pernikahan, bukan
mengedepankan hajat suami istri atau perwakilannya.
Al-Mashri,
Syaikh Mahmud. Perkawianan Idaman. 2010. Jakarta: Qisthi Press.
Al-Qurthubi, Abu
Abdillah bin Muhammad. Jami’ ahkamil Qur’an. Beirut: Dar Al-Fikr.
Al-Syaibani, Abu
Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad. Musnad Al-Imam
Ahmad Ibn Hambal. Al-Maktabah Al-Syamilah.
As-Subki,
Ali Yusuf. Fiqh Keluarga. 2010. Jakarta: Sinar Grafika Ofset.
Sabiq, Sayyid. Fiqh
Al-Sunnah.
1977. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arobi.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan
Indonesia. 1986. Jakarta : UI Press.
Zuhaili,
Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. tt. Damaskus: Dar Al-Fikr.
[2] Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’
ahkami Qur’an, ( Dar Al-Fikr:
Bairut) jilid III, h. 150
[3]
QS. An-Nisa’(4): 34
[6] QS
An-Nisa’ (4): 34
[8] Abu Abdillah Ahmad Bin
Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Ibn
Hambal, Al-Maktabah Al-Syamilah, Juz III, Hlm 199.
[9]
QS. An-Nisa’(4): 34
[11]Sunan Abu Dawud, Juz 4, hlm 279.
[15]
Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,. 315
[16]
QS. Qn-Nisa’ (4): 128
Tidak ada komentar:
Posting Komentar