twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Sabtu, 11 Oktober 2014

Makalah Nusyuz dan Syiqaq



Dalam kehidupan rumah tangga dimungkinkan terjadinya nusyuz karena ombak dalam bahtera rumah tangga semakin lama tentunya semakin besar. Islam pun juga memperhatikan permasalahan ini. Dan dalam makalah ini akan dikupas dalam pembahasan berikut.
Nusyuz secara etimologi berarti tempat yang tinggi. Adapun secara terminologi maknanya ialah pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya. Seakan-akan wanita itu merasa yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya.[1]
Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam lisan al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak (suami atau istri) terhadap pasanganya.
Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap pasangannya. Ada yang menyebutkan juga bahwa nusyuz berarti tidak taatnya suami atau isrti terhadap pasanganya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”.[2]
            Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dan nusyuznya suami. Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda pula cara penyelesaiannya.
a.      Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.
Allah berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha besar.[3]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Qurthubi berkata, “Ketahuilah bahwa Allah tidak memerintahkan untuk memukul seseorang jika ia melanggar kewajiban-Nya, kecuali dalam kasus nusyuz ini dan kasus hudud yang tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan para istri dengan dosa besar lainnya. Dalam pelaksanaan hukumnya pun, suami sendiri yang melaksanakannya bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal itu tanpa proses pengadilan., tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini Allah betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman dalam ayat di atas, ini disebabkan oleh perbedaan dalam memahami huruf waw ‘athaf. Apakah huruf itu menunjukkan penggabungan secara mutlak sehingga suami cukup memberikan satu saja dari hukuman-hukuman kepada istrinya dan/atau menetapkan keduannya, atau apakah huruf itu menunjukkan adanya urutan.
Dalam masalah ini terdapat pendapat yang moderat, yaitu mengatakan bahwa penggabungan huruf waw adalah penggabungan secara mutlak, tetapi maksudnya penggabungan berdasarkan urutan. Ini dapat ditinjau dari lafadznya.
Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi berkata: “penafsiran terbaik yang pernah kudengar tentang ayat ini adalah pendapat Sa’id ibn Jubair, ia berkata ‘suami harus terlebih dahulu menasehati istrinya. Jika ia menolak maka suami harus memisahkannya dari tempat tidurnya. Namun jika ia terus menolak, suami harus memukulnya. Lalu jika ia tetap menolak, angkat atau tunjuk seorang penengah itulah yang akan melihat dari siapa sumber petaka itu muncul. Baru setelah itu praktik khulu’ bisa diterapkan atas keduanya”.[4]
Tindakan yang Dilakukan Suami Ketika Istrinya Nusyuz
Bagi suami, jika telah jelas bahwa istrinya nusyuz karena dengan berpalingnya perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan permusuhan, kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh tiga tahapan sebagai berikut:[5]
Pertama, Menasehati.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka[6]
Yakni, suami memberi nasehat kepada istri untuk ingat pada Allah dan takut kepada-Nya, serta mengingatkan tentang kewajiban istri untuk taat kepada suaminya, dan memberi pandangan tentang dosanya berselisih dengan suami dan membangkang terhadapnya, dan hilangnya hak-hak istri baik dari suami baik berupa nafkah dan lain-lain.[7]
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami ketika ia menasehati istrinya adalah sebagai berikut:
1.      Memperingatkan istri dengan hukuman Allah SWT bagi perempuan yang bermalam sedangkan suami marah dengannya.
2.      Mengancamnya dengan tidak memberi sebagian kesenangan materiil.
3.      Mengingatkan istri kepada sesuatu yang layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyuz, diantaranya bisa berupa perceraian yang berdampak baginya keretakan eksistensi keluarga dan terlantarnya anak-anak.
4.      Menjelaskan istri tentang apa yang mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan yang ridha dengan Tuhannya dan taat kepada suaminya. Nabi saw bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
jika seorang perempuan shalat lima waktu, puasa pada bulan puasa, menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya, dikatakan padanya “masuklah engkau ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.”[8]

5.      Menasehati istri dengan mengingatkan perintah kitabullah, yang mewajibkan perempuan untuk bersama dengan baik, bergaul dengan baik terhadap suami, dan mengakui posisi suami atasnya.
6.      Menasehati istri dengan menyebutkan hadis-hadis nabi, menyebutkan sejarah hidup ibu orang-orang mukmin, semoga Allah member keridhaan bagi mereka.
7.      Memilih waktu dan tempat yang sesuai untuk berbicara, kecuali memeperbanyak sikap untuk mengokohkan dan menghilangkan kesulitan.
Pentingnya di dalam memilih seorang istri yang solehah, karena sesungguhnya istri yang solehah memiliki agama yang baik, mengharapkan ridha Allah SWT, menggembirakan suami dan menampakkan kebaikan dunia dan akhirat. Al-Qur’an tidak pernah membatasi begitu juga hadis-hadis dan juga ulama tafsir, fiqh terhadap apa yang terlihat selama waktu tertentu. Seharusnya bagi suami untuk terus memberi nasehat kepada istrinya dan mengutamakan hal tersebut sebelum berpindah pada fase pemecahan selanjutnya.
Kedua, Berpisah Tempat Tidur
            Hal itu dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, dan meninggalkan pergaulan dengannya, berdasarkan firman Allah SWT:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur[9]
Al-hajru maksudnya berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur bersama istrinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika istri mencintai suami maka hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali baik. Jika ia masih  marah maka dapat diketahui bahwa nusyuz darinya sehingga jelas bahwa hal itu berawal darinya. Peninggalan ini menurut ulama berakhir selama sebulan sebagaimana dilakukan oleh Nabi saw ketika menawan Hafshah dengan perintah sehingga ia membuka diri tentang Nabi kepada Aisyah dan mereka berdua mendatangi Nabi. Sebagaiman berpisah itu telah bermanfaat dengan meninggalkan tempat tidur saja, tanpa meninggalkan berbicara dengannya secara mutlak.[10]
Adapun Al-hajru dalam berkomunikasi maka tidak diperbolehkan melebihi tiga hari, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al-Anshori:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ[11]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: tidaklah halal seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari”.
            Hikmah disyari’atkannya, telah disebutkan bahwa hikmah ditetapkannya hukuman pemisahan terhadap perempuan termasuk hal yang lebih umum atas hukum Al-Qur’an, dan lebih bermanfaat menengahi pertengkaran dalam pernikahan karena hal tersebut mengingatkan perempuan dengan kodratnya yang wajib bagi laki-laki untuk taat di dalam kedalaman penemuannya, yaitu menentukan harapan, keinginan dan melebihi perasaan-perasaan indrawi.
Ketiga, Memukul
Jika dengan berpisah belum berhasil, maka bagi suami berdasarkan Al-Qur’an diperintahkan untuk memukul istrinya. Pemukulan ini tidak wajib menurut syara’dan juga tidak baik untuk dilakukan. Hanya saja ini merupakan cara terakhir bagi laki-laki setelah ia tidak mampu menundukkan istrinya, mengajaknya dengan bimbingan nasihat dan pemisahan. Hal ini merupakan usaha untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran membersihkan rumah tangga dari kepecahan yang dihadapinya.
            Bagi suami untuk memukul dengan pukulan yang halus tanpa menyakiti. Tidak meninggalkan bekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidak menimbulkan luka. Dan hendaknya suami tidak memukul wajah dan anggota tubuh yang vital atau mengkhawatirkan. Karena yang dimaksud dari pemukulan ini adalah memperbaiki hubungan, bukan merusak.[12]
روى أبو داود عن حكيم بن معاوية القشيري عن أبيه قال: قلت يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟، قَالَ: «أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ  إِلَّا فِي الْبَيْتِ»[13]
Artinya: Abu Dawud meriwayatkan dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairi dari ayahnya, beliau berkata: Aku bertanya, “wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap suami”? Beliau SAW menjawab: kamu memberinya makan ketika kamu makan, dan memberinya pakaian ketika kamu berpakaian atau bekerja, dan janganlah kamu memukul wajah, dan jangan menjelek-jelekkan, dan jangan mendiamkan kecuali di rumah”.
Adapun suami boleh memukul dengan tangan, tongkat yang ringan, dan benda-benda lain yang tidak membahayakan. Namun yang lebih utama ialah cukup dengan menakut-nakuti saja tanpa adanya pukulan[14].
Keempat, mengutus dua orang hakam
Jika cara-cara di atas telah ditempuh namun tidak berhasil, dan pada akhirnya masing-masing mendakwa berbuat aniaya dan tidak bukti bagi keduanya, maka permasalahan dibawa kepada hakim agar diutuslah dua orang hakam kepada suami istri tersebut, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mendamaikan atau memisahkan keduanya. Seperti halnya firman Allah SWT:
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
Maka kalian utuslah penengah dari keluarganya.[15]

b.      Nusyuz Suami
Allah SWT berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[16]
            Sebelumnya manhaj Islam pada pembahasan sebelum ini telah mengatur masalah nusyuz dari pihak istri dan prosedur yang ditempuh guna menjaga keutuhan keluarga. Permasalahan sekarang apabila nusyuz itu datang dari pihak suami atau sikap cuek dan berpalingnya suami sehingga dapat mengancam keamanan dan kehormatan istri serta mengancam keselamatan keluarga. Sesungguhnya perasaan bisa berubah-ubah. Sedangkan Islam adalah Manhajul Hayah (pedoman hidup) yang dapat mengatur semua bagian permasalahan yang ada dalam kehidupan. Adapun nusyuz dari pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai beban berat lainnya bagi istri. Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan. Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1.      Memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri.
2.      Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami.
3.      Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan di rumah isteri.
4.      Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga.
5.      Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu.
6.      berbuat adil diantara anak-anaknya.
Adapun cara penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.

Apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan maka istri berhak memfasakh suaminya melalui jalur  hukum.
2.1.3 Implikasi Hukum yang Ditimbulkan Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.

Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”al-syaqq” yang berarti sisi, perselisihan (al khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang sangat hebat antara suami istri.[17] Hal ini dikarenakan adanya pencemaran kehormatan yang dilakukan oleh masing-masing pihak.[18]
Irfan Sidqan juga mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni keadaan perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai (hakam) untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqoq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam  Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum islam: antara suami, dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Ketika syiqoq terjadi antara suami istri dalam suatu rumah tangga dan permusuhan diantara keduanya semakin kuat dan dikhawatirkan terjadi firqah dan rumah tangga mereka nampak akan runtuh maka hakim mengutus dua orang hakam untuk memberi pandangan terhadap problem yang dihadapi keduanya, dan mencari mashlahat bagi mereka, baik tetap atau berakhirnya rumah tangga. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا[19]
Jika memang yang lebih mashlahah adalah talak maka diputuskanlah perkaranya oleh hakim sebagai talak ba’in, karena tidak ada cara lain untuk menghilangkan kemadhorotan kecuali dengan jalan tersebut. Karena apabila diputuskan dengan talak raj’i yang memungkinkan untuk rujuk dalam masa iddah dan itu berarti akan kembali kepada madhorot yang telah dialami.[20]
2.3 Hakamain dan Fungsinya dalam Penyelesaian Masalah Suami Istri
Hakamain merupakan bentuk tatsniyah dari hakam yang berarti pendamai. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus.
2.3.2    Persyaratan Hakamain
Bagi kedua hakam disyaratkan harus laki-laki, adil, berpengalaman atau cakap dengan hal-hal yang diharapkan dalam urusan ini. Dan disunnahkan kedua pendamai ini dari keluarga sendiri, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri sebagaimana yang tersirat dalam ayat. Jika dari keluarganya tidak ada yang bisa dijadikan hakam, maka hakim mengutus dua orang laki-laki lain. Dan sebaiknya dari tetangga suami istri tersebut, yakni orang yang cakap dan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan suami istri, dan dianggap mampu mendatangkan perdamaian di antara keduanya.[21] Hakamain tersebut juga harus bebas dari pengaruh-pengaruh yang dapat merusak suasana dan mempersulit permasalahan. Mereka juga harus menjaga citra suami istri tersebut serta menjaga rahasia keduanya.[22]


2.3.3    Tugas dan Wewenang Hakamain
Dalam mengatasi problem yang terjadi di antara suami istri, hakamain yang juga sebagai mediator mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas dari hakamain ialah harus bertindak dengan mempertimbangkan mashlahah, baik berupa tetap atau selesainya pernikahan, bukan mengedepankan hajat suami, istri atau perwakilannya. Ini adalah pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Salamah Bin Abdur Rahman, As-Sya’bi, An-Nakho’i, Sa’id Bin Jubair, Malik, Al-Auza’i, Ishaq dan Ibnu Al-Mundzir.[23]
Terkait wewenang hakamain terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’. Ulama’ Malikiyyah berpendapat bahwa hakamain boleh memutuskan perkara tanpa izin dari suami istri atau persetujuan hakim setelah hakamain tidak mampu untuk mendamaikan keduanya. Dan jika mereka memutuskan dengan pisah maka berarti talak bain. Adapun ulama’ Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hakamain hanyalah wakil dari suami istri. Jadi mereka tidak punya wewenang untuk memutuskan pisah dengan menjatuhkan talak kecuali dengan izin suami istri tersebut. Sedangkan ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa hakamain harus mengajukan perkaranya kepada hakim, lalu kemudian hakim yang menjatuhkan talak, yakni talak bain sesuai dengan yang ditetapkan hakamain. Jadi hakamain tidak punya wewenang dalam menjatuhkan putusan tersebut.[24]



Nusyuz secara etimologi adalah tempat yang tinggi. Adapun secara terminologis maknanya pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya. Seakan-akan wanita itu merasa yang paling tinggi. Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan. Nusyuz adakalanya dari pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai beban berat lainnya bagi istri. Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan.
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”Syiqaqa” yang berarti sisi, perselisihan (al khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang sangat hebat antara suami istri.
Secara Etimologi, hakamain berarti dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus. Dan bagi kedua hakam disyaratkan harus berakal, baligh, adil, islam. Dan tidak disyaratkan bahwa hakam itu harus dari salah seorang dari keluarga suami atau istri, meskipun bukan anggota keluarga tetaplah dibolehkan. Namun disunnahkan mengutus hakam dari keluarganya. hakamain harus bertindak dengan mempertimbangkan mashlahah, baik berupa tetap atau selesainya pernikahan, bukan mengedepankan hajat suami istri atau perwakilannya.




Al-Mashri, Syaikh Mahmud. Perkawianan Idaman. 2010. Jakarta: Qisthi Press.
Al-Qurthubi, Abu Abdillah bin Muhammad. Jami’ ahkamil Qur’an. Beirut: Dar Al-Fikr.
Al-Syaibani, Abu Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad. Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hambal. Al-Maktabah Al-Syamilah.
As-Subki, Ali Yusuf.  Fiqh Keluarga. 2010. Jakarta: Sinar Grafika Ofset.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah. 1977. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arobi.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. 1986. Jakarta : UI Press.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. tt. Damaskus: Dar Al-Fikr.



[1] Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2010) h. 359
[2] Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’ ahkami Qur’an, ( Dar Al-Fikr:  Bairut) jilid III, h. 150

[3] QS. An-Nisa’(4): 34
[4] Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman,. 360.
[5] Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010) h. 303
[6] QS An-Nisa’ (4): 34
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arobi, 1977), hlm.207.
[8] Abu Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hambal, Al-Maktabah Al-Syamilah, Juz III, Hlm 199.
[9] QS. An-Nisa’(4): 34
[10] Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, 303-306.
[11]Sunan Abu Dawud, Juz 4, hlm 279.
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah,.208.
[13] Sunan Abi Dawud, juz II, hlm 244.
[14] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, tt. (Damaskus: Dar Al-Fikr), hlm 6857.
[15] Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,. 315
[16] QS. Qn-Nisa’ (4): 128
[17] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (UI Press: Jakarta, 1986) h. 95.
[18] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7060.

[19] QS. An-Nisa’: 35
[20] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7062.
[21] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh,  7061.
[22] Abdul Azim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka Sunnah), 2006, hlm 618.
[23] Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 308.
[24] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 6857.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar