Hubungan Hukum Perdata dengan KUHD
Prof. Subekti, S. H. berpendapat bahwa terdapatnya KUHD di samping
KUH Perdata sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya, oleh karena sebenarnya
Hukum Dagang tidaklah lain daripada Hukum Perdata, dan perkataan “dagang” bukanlah
suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian perekonomian.
Seperti telah kita ketahui, pembagian Hukum Sipil ke dalam KUH Per
dan KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam Hukum Romawi
(yang menjadi sumber terpenting dari Hukum Perdata Eropa Barat) belum terkenal
peraturan-peraturan sebagai yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan
antarnegara baru mulai berkembang dalam abad pertengahan.
Di Netherlands sekarang ini sudah ada aliran yang bertujuan
menghapuskan pemisahan Hukum Perdata dalam dua kitab undang-undang itu
(bertujuan mempersatukan Hukum Perdata dan Hukum Dagang dalam suatu kitab
undang-undang saja).
Pada beberapa negara lainnya, misalnya Amerika Serikat dan Swiss,
tidaklah terdapat suatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang terpisah dari KUH
Per. Dahulu memang peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHD dimaksudkan
hanya berlaku bagi orang-orang pedagang saja, misalnya:
- Hanyalah orang pedagang diperbolehkan
membuat surat wesel
- Hanyalah orang pedagang dapat dinyatakan
pailit, akan tetapi sekarang ini KUHD berlaku bagi setiap orang, juga
orang bukan pedagang sebagaimana juga KUH Per berlaku bagi setiap orang
termasuk juga seorang pedagang. Malahan dapat dikatakan bahwa sumber yang
terpenting dari Hukum Dagang ialah KUH Per. Hal ini memang dinyatakan dalam Pasal 1 KUHD,
yang berbunyi: “KUH Per dapat juga berlaku dalam hal-hal yang diatur dalam
KUHD sekadar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari Kuh Per”.
Hal ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD
sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga
berlaku peraturan-peraturan dalam KUH Per.
Menurut Prof. Subekti, dengan demikian sudahlah diakui bahwa
kedudukan KUHD terhadap KUH Per adalah sebagai hukum khusus terhadap hukum umum.
Dengan perkataan lain menurut Prof. Sudiman Kartohadiprojo, KUHD merupakan
suatu lex specialis terhadap KUH Per sebagai lex generalis, maka sebagai lex
specialis kalau andaikata dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai hal yang dapat
aturan pula dalam KUH Per, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku.
Adapun pendapat sarjana hukum lainnya tentang hubungan kedua hukum ini antara
lain sebagai berikut:
- Van Kan beranggapan, bahwa Hukum Dagang
adalah suatu tambahan Hukum Perdata yaitu suatu tambahan yang mengatur
hal-hal yang khusus. KUH Per memuat Hukum Perdata dalam arti sempit,
sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum
perdata dalam arti sempit itu.
- Van Apeldoorn menganggap Hukum Dagang
suatu bagian istimewa dari lapangan hukum perikatan yang tidak dapat
ditetapkan dalam Kitab III KUH Per.
- Sukrdono menyatakan, bahwa Pasal 1 KUHD
memelihara kesatuan antara Hukum Perdata Umum dengan Hukum Dagang ...
sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUH Per.
- Tirtaamidjaja menyatakan, bahwa Hukum
Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa.
Dalam hubungan Hukum Dagang dan Hukum Perdata ini dapat pula kita
bandingkan dengan sistem hukum yang bersangkutan di negara Swiss. Seperti juga
di tanah air kita, di negara Swiss juga berlaku dua buah kodifikasi, yang
kedua-duanya mengatur bersama hukum perdata.[1]
Perantaraan dalam Hukum Dagang
Seorang pedagang, terutama seorang yang menjalankan perusahaan yang
besar dan berarti, biasanya tidak dapat bekerja seorang diri. Dalam menjalankan
perusahaannya ia memerlukan bantuan orang-orang yang bekerja padanya sebagai
seorang bawahan, ataupun orang yang berdiri sendiri dan mempunyai perusahaan
sendiri dan yang mempunyai perhubungan tetap ataupun tidak tetap dengan dia.
Sebagai akibat
dari pertumbuhan perdagangan yang demikian pesat dewasa ini,
pengusaha-pengusaha kebanyakan tidak lagi berusaha seorang diri, melainkan
bersatu dalam persekutuan-persekutuan atau perseroan-perseroan yang menempati
gedung-gedung untuk kantornya dengan sedikit pegawai. Orang lalu membedakan
antara perusahaan kecil (yang mempunyai 1-5 pekerja), perusahaan sedang (jumlah
pekerja 5-50 orang), dan perusahan besar (jumlah pekerjanya lebih dari 50
orang).
Pada tiap-tiap
toko dapat dilihat aneka warna pekerja-pekerja, seperti penjual, penerima uang,
pengepak, dan lain-lain. Kesemuanya itu bekerja dalam posisi masing-masing dan
dapat dianggap sebagai pengganti penguasa itu sendiri, yang bertindak sebagai
wakilnya dalam hubungan dengan dunia luar atau dengan pihak ketiga. Mereka
semua adalah sebagai perantara. Mereka menurut Prof. Sukardono tergolong dalam
golongan-golongan pelayan-pelayan perniagaan atau pekerja-pekerja perniagan (handelsbedienden).
Termasuk juga dalam golongan pekerja-pekerja perniagaan dalam lingkungan
perusahaan adalah:
- Pemimpin perusahaaan (manager);
- Pemegang prokurasi (procurantie houder atau
general agent);
- Pedagang berkeliling (commercial
traveller).
Di samping itu terdapat pula golongan perantara yang bekerja di
luar lingkungan perusahaan, seperti:
- Agen perniagaan (commercial agent);
- Makelar (broker);
- Komisioner (factor);
- Pengusaha bank.
Sebuah perusahaan besar biasanya mempunyai:
a.
Kantor
Perusahaan-perusahaan atau jawatan-jawatan perlu sekali mengadakan
kantor agar pegawai dapat dipusatkan dalam suatu tempat. Dari tempat inilah
semua instruksi-instruksi dikeluarkan. Sebuah kantor yang besar biasanya dibagi
dalam beberapa bagian, yaitu bagian direksi, bagian administrasi, bagian
keuangan, bagian urusan kepegawaian, dan bagian arsip.
b.
Toko
Sebuah toko dipimpin oleh kepala toko yang dibantu oleh
pekerja-pekerja toko (toko bedienden) dan pemegang kas toko.
c.
Gudang
Dipimpin oleh kepala gudang (magazijnmeester) yang mengurus
keluar masuknyabarang-barang yang dicatat dalam buku gudang. Ia membuat laporan
tentang persediaan barang-barang.[2]
Sumber-Sumber Hukum Dagang
Hukum dagang di Indonesia terutama bersumber pada (diatur dalam):
- Hukum tertulis yang dikodifikasikan
1)
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koorphandel Indonesia (W.v.K.).
2)
Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW).
- Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan,
yakni peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang
berhubungan dengan perdagangan.[3]
[1] Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H.,
Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hal 30-32.
[2]Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H.,
hal 42-46.
[3]Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H.,
hal 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar