twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Selasa, 21 Oktober 2014

Hubungan Hukum Perdata dengan KUHD

Hubungan Hukum Perdata dengan KUHD

Prof. Subekti, S. H. berpendapat bahwa terdapatnya KUHD di samping KUH Perdata sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya, oleh karena sebenarnya Hukum Dagang tidaklah lain daripada Hukum Perdata, dan perkataan “dagang” bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian perekonomian.
Seperti telah kita ketahui, pembagian Hukum Sipil ke dalam KUH Per dan KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam Hukum Romawi (yang menjadi sumber terpenting dari Hukum Perdata Eropa Barat) belum terkenal peraturan-peraturan sebagai yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antarnegara baru mulai berkembang dalam abad pertengahan.
Di Netherlands sekarang ini sudah ada aliran yang bertujuan menghapuskan pemisahan Hukum Perdata dalam dua kitab undang-undang itu (bertujuan mempersatukan Hukum Perdata dan Hukum Dagang dalam suatu kitab undang-undang saja).
Pada beberapa negara lainnya, misalnya Amerika Serikat dan Swiss, tidaklah terdapat suatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang terpisah dari KUH Per. Dahulu memang peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHD dimaksudkan hanya berlaku bagi orang-orang pedagang saja, misalnya:
  1. Hanyalah orang pedagang diperbolehkan membuat surat wesel
  2. Hanyalah orang pedagang dapat dinyatakan pailit, akan tetapi sekarang ini KUHD berlaku bagi setiap orang, juga orang bukan pedagang sebagaimana juga KUH Per berlaku bagi setiap orang termasuk juga seorang pedagang. Malahan dapat dikatakan bahwa sumber yang terpenting dari Hukum Dagang ialah KUH Per. Hal ini  memang dinyatakan dalam Pasal 1 KUHD, yang berbunyi: “KUH Per dapat juga berlaku dalam hal-hal yang diatur dalam KUHD sekadar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari Kuh Per”.
Hal ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUH Per.
Menurut Prof. Subekti, dengan demikian sudahlah diakui bahwa kedudukan KUHD terhadap KUH Per adalah sebagai hukum khusus terhadap hukum umum. Dengan perkataan lain menurut Prof. Sudiman Kartohadiprojo, KUHD merupakan suatu lex specialis terhadap KUH Per sebagai lex generalis, maka sebagai lex specialis kalau andaikata dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai hal yang dapat aturan pula dalam KUH Per, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku. Adapun pendapat sarjana hukum lainnya tentang hubungan kedua hukum ini antara lain sebagai berikut:
  1. Van Kan beranggapan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUH Per memuat Hukum Perdata dalam arti sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum perdata dalam arti sempit itu.
  2. Van Apeldoorn menganggap Hukum Dagang suatu bagian istimewa dari lapangan hukum perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUH Per.
  3. Sukrdono menyatakan, bahwa Pasal 1 KUHD memelihara kesatuan antara Hukum Perdata Umum dengan Hukum Dagang ... sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUH Per.
  4. Tirtaamidjaja menyatakan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa.
Dalam hubungan Hukum Dagang dan Hukum Perdata ini dapat pula kita bandingkan dengan sistem hukum yang bersangkutan di negara Swiss. Seperti juga di tanah air kita, di negara Swiss juga berlaku dua buah kodifikasi, yang kedua-duanya mengatur bersama hukum perdata.[1]

Perantaraan dalam Hukum Dagang
Seorang pedagang, terutama seorang yang menjalankan perusahaan yang besar dan berarti, biasanya tidak dapat bekerja seorang diri. Dalam menjalankan perusahaannya ia memerlukan bantuan orang-orang yang bekerja padanya sebagai seorang bawahan, ataupun orang yang berdiri sendiri dan mempunyai perusahaan sendiri dan yang mempunyai perhubungan tetap ataupun tidak tetap dengan dia.
            Sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan yang demikian pesat dewasa ini, pengusaha-pengusaha kebanyakan tidak lagi berusaha seorang diri, melainkan bersatu dalam persekutuan-persekutuan atau perseroan-perseroan yang menempati gedung-gedung untuk kantornya dengan sedikit pegawai. Orang lalu membedakan antara perusahaan kecil (yang mempunyai 1-5 pekerja), perusahaan sedang (jumlah pekerja 5-50 orang), dan perusahan besar (jumlah pekerjanya lebih dari 50 orang).
            Pada tiap-tiap toko dapat dilihat aneka warna pekerja-pekerja, seperti penjual, penerima uang, pengepak, dan lain-lain. Kesemuanya itu bekerja dalam posisi masing-masing dan dapat dianggap sebagai pengganti penguasa itu sendiri, yang bertindak sebagai wakilnya dalam hubungan dengan dunia luar atau dengan pihak ketiga. Mereka semua adalah sebagai perantara. Mereka menurut Prof. Sukardono tergolong dalam golongan-golongan pelayan-pelayan perniagaan atau pekerja-pekerja perniagan (handelsbedienden). Termasuk juga dalam golongan pekerja-pekerja perniagaan dalam lingkungan perusahaan adalah:
  1. Pemimpin perusahaaan (manager);
  2. Pemegang prokurasi (procurantie houder atau general agent);
  3. Pedagang berkeliling (commercial traveller).
Di samping itu terdapat pula golongan perantara yang bekerja di luar lingkungan perusahaan, seperti:
  1. Agen perniagaan (commercial agent);
  2. Makelar (broker);
  3. Komisioner (factor);
  4. Pengusaha bank.
Sebuah perusahaan besar biasanya mempunyai:
a.       Kantor
Perusahaan-perusahaan atau jawatan-jawatan perlu sekali mengadakan kantor agar pegawai dapat dipusatkan dalam suatu tempat. Dari tempat inilah semua instruksi-instruksi dikeluarkan. Sebuah kantor yang besar biasanya dibagi dalam beberapa bagian, yaitu bagian direksi, bagian administrasi, bagian keuangan, bagian urusan kepegawaian, dan bagian arsip.
b.      Toko
Sebuah toko dipimpin oleh kepala toko yang dibantu oleh pekerja-pekerja toko (toko bedienden) dan pemegang kas toko.
c.       Gudang
Dipimpin oleh kepala gudang (magazijnmeester) yang mengurus keluar masuknyabarang-barang yang dicatat dalam buku gudang. Ia membuat laporan tentang persediaan barang-barang.[2]

 Sumber-Sumber Hukum Dagang
Hukum dagang di Indonesia terutama bersumber pada (diatur dalam):
  1. Hukum tertulis yang dikodifikasikan
1)      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koorphandel Indonesia (W.v.K.).
2)      Kitab Undang-Undang Hukum Sipil atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW).
  1. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yakni peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.[3]



[1] Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal 30-32.
[2]Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., hal 42-46.
[3]Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., hal 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar