PENDAHULUAN
Kita telah mengetahui bahwa sumber hukum
tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Meski Al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan
lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail
oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dan seiring
berjalannya zaman, permasalahan-permasalahan dan problematika kehidupan yang
dihadapi umat islam pun kian berkembang. Jika terjadi persoalan baru
bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu
tertentu, maka persoalan tersebut dikaji, apakah perkara yang dipersoalkan itu
sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan
tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits itu. Namun, jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits, maka pada saat itulah umat Islam memerlukan ketetapan ijtihad
yang
dilakukan oleh para ‘ulama yang keilmuannya sudah mencapai kapasitas seorang
mujtahid.
Jika kita menilik sejarah, maka
dapat diketahui bahwa ijtihad pada dasarnya telah muncul sejak periode awal
Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad SAW, dan kemudian berkembang pada periode
para sahabat dan tabi’in serta generasi selanjutnya hingga kini dan
mendatang dengan mengalami pasang surut yang signifikan sesuai dengan tuntutan
zaman. Bahwa ijtihad itu telah ada sejak
zaman Rasulullah SAW dapat kita ketahui dari riwayat ‘Amr bin ‘Ash berikut ini:
حدثنا عبد الله بن
يزيد المقرئ المكي حدثنا حيوة بن شريح حدثني يزيد بن عبد الله بن الهاد عن محمد بن
إبراهيم بن الحارث عن بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص عن عمرو بن العاص: أنه سمع رسول الله
صلى الله عليه و سلم يقول ( إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم
فاجتهد ثم أخطأ فله أجر )[1]
“Apabila seorang
hakim hendak menetapakan suatu hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata benar
ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum
kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya maka untuknya satu
pahala”.
Dalam makalah ini penyusun mencoba memaparkan
pembahasan-pembahasan yang lebih mengarah pada persoalan bagaimana bila ijtihad
yang telah ditetapkan oleh seorang mujtahid direvisi bahkan dibatalkan.
Penyusun juga memaparkan tentang dualisme pendapat dari seorang mujtahid yang
dilakukan terhadap suatu permasalahan dalam satu waktu. Karena bukan tidak mungkin hasil ijtihad yang
telah ditetapkan akan mengalami perubahan dan perombakan, seiring dengan
problematika yang muncul di tengah-tengah umat.
- Bagaimana hukumnya seorang mujtahid
mencetuskan dua pendapat dalam satu waktu terhadap satu permasalahan?
- Bagaimana hukumnya seorang mujtahid merevisi
ijtihadnya?
- Bagaimana hukumnya seorang mujtahid membatalkan
ijtihadnya?
- Mengetahui hukumnya seorang mujtahid yang
berpendapat dalam satu waktu terhadap satu permasalahan.
- Memahami hukumnya merevisi ijtihad yang
dilakukan oleh seorang mujtahid.
- Memahami hukumnya pembatalan ijtihad yang
dilakukan oleh seorang mujtahid.
Hasil ijtihad yang telah
ditetapkan oleh seorang mujtahid memungkinkan akan adanya revisi bahkan
pembatalan. Hal ini terjadi karena ada
beberapa faktor yang seakan mengharuskan para mujtahid untuk merevisi pendapat
mereka dan juga merombak ketetapan mereka.
Sebelum melangkah lebih jauh tentang pembahasan ini, alangkah baiknya
bila terlebih dahulu dikemukakan pendapat para ulama’ mengenai hukum ta’addud
qaul al-mujtahid (dualisme pendapat mujtahid) dan taghoyyur al- ijtihad (revisi
ijtihad). Dengan kata lain, bolehkah
seorang mujtahid mencetuskan dua pendapat dalam satu permasalahan dalam waktu
yang sama? Bolehkah pula melakukan revisi ijtihad?
2.1.1 Ta’addudu Qaul Al-Mujtahid (Dualisme
Pendapat Mujtahid)
Seorang mujtahid tidak
diperbolehkan mencetuskan dua hukum yang
berbeda pada satu permasalahan dalam waktu yang sama, karena satu sama lain
akan terjadi pertentangan dan pembatalan.
Di samping itu, seandainya dalil-dalil yang dijadikan pijakan memiliki
kekuatan yang sama dan tidak ada jalan untuk kompromi, juga tidak mungkin untuk
dilakukan tarjih, maka mujtahid tidak diperbolehkan memberikan fatwa
dengan dalil-dalil tersebut, karena dalil-dalil yang ada saling kontradiktif
dan berkekuatan hukum yang sama. Jika ia mampu mengkompromikan dalil-dalil
yang kontradiktif tersebut maka itulah yang harus dilakukan. Apabila salah
satunya lebih akurat daripada yang lain, maka pendapat itulah yang harus
diadopsi sebagai penetapan hukumnya.[2]
Lantas bagaimana dengan Imam
Al-syafi’i, seorang Imam mujtahid ternama yang telah disepakati kapasitas
keilmuannya yang ternyata juga berpendapat ganda dalam menyikapi lebih dari 17
permasalahan? Dualisme pendapat imam pendiri madzhab ini bisa diarahkan pada
beberapa kemungkinan. Pertama, ada
kemungkinan beliau hanya menyampaikan pendapat-pendapat ulama’ terdahulu untuk
menunjukkan bahwa dalam permasalahan tersebut tidak terjadi ijma’. Dengan demikian, sebenarnya Imam Al-Syafi’i
tidaklah mengeluarkan pendapat ganda. Kedua,
barangkali pendapat ganda yang dikeluarkan Imam Al-Syafi’i hanyalah sekedar
menjelaskan adanya kebebasan ontuk
memilih di antara dua hukum dalam sebagian kasus, atau barangkali menjelaskan
keraguan Imam Al-Syafi’i terhadap hukum-hukum yang telah ia cetuskan. Seperti keraguan beliau dalam permasalahan basmalah,
apakah termasuk awal setiap surat atau bukan? Berdasarkan
kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak diperbolehkan menisbatkan pendapat
ganda tersebut kepada Imam Al-Syafi’i, demikian diungkapkan Al-Amudi.
Jika demikian, yang harus
dilakukan adalah tashhih, semisal ungkapan Al-Syafi’i “fi al-mas’alah
qaulani” (dalam masalah ini terdapat dua pendapat) diarahkan pada suatu
kondisi bahwa dalam suatu permasalahan, beliau menemukan dua dalil yang saling
bertentangan dan tidak mungkin untuk dilakukan tarjih. Karenanya, maksud dari pendapat ganda
yang dikeluarkan mujaddid abad kedua ini adalah adanya dua ihtimal (kemungkinan
untuk diarahkan pada penyelesaian dengan salah satu dalil).
Pembahasan mengenai
pendapat ganda yang dilakukan seorang mujtahid ini, hanya berlaku ketika
terjadi di waktu yang sama. Jika
dualisme pendapat tersebut muncul dalam waktu yang berbeda, maka
penyelesaiannya mudah, artinya pendapat kedua diposisikan sebagai pembatah atas
pendapat yang pertama. Dan pendapat
kedua inilah yang dijadikan acuan hukumnya.
Dan pendapat pertama dianggap telah dicabut, (ini didasarkan pada
kebolehan mencabut hasil ijtihad).
Ketentuan ini tentunya jika di antara dua pendapat telah diketahui mana
yang lebih dahulu, maka tindakan yang harus diambil ialah menisbatkan salah
satu pendapat tersebut kepada seorang mujtahid dan menganggap pendapat yang
lain telah dicabut. Namun, dalam keadaan seperti ini kedua pendapat tersebut
tidak boleh untuk diamalkan, karena ada kemungkinan pendapat yang diamalkan
justru merupakan pendapat yang telah dicabut.[3]
2.1.2 Taghoyyur Al-Ijtihad (Revisi Ijtihad)
Kemungkinan mengenai taghoyyur
al-ijtihad (revisi ijtihad), bolehkah ini terjadi pada diri seorang
mujtahid? Dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa aktivitas ijtihad tidak dapat
terlepaskan dari argumentasi dan dalil, dan ketika seorang mujtahid menemukan
bukti-bukti baru yang lebih akurat, semestinya bukti baru itulah yang harus
dijadikan sebagai acuan pemutusan hukumnya. Maka revisi ijtihad adalah hal yang
lumrah terjadi pada diri seorang mujtahid.
Pandangan ini diperkuat oleh surat Umar bin Al-Khattab kepada penguasa
Kufah, Abu Musa Al-‘Asy’ari. Dalam surat
tersebut Umar berpesan, “janganlah keputusanmu saat ini menghalangimu untuk
melakukan peninjauan ulang.. semoga engkau medapatkan tuntutan pada sebuah
petunjuk kebenaran. Sesungguhnya
kebenaran telah ada terlebih dahulu, dan kembali kepada kebenaran adalah lebih
baikdaripada melanggar kebatilan”.[4] Dari sini, jelaslah bahwa revisi ijtihad
adalah hal yang diperbolehkan bagi seorang mujtahid.
2.1.3 Pembatalan Ijtihad
Paparan singkat di atas
adalah revisi ijtihad dalam tataran wacana.
Jika hal itu terjadi dalam tataran praktik, ada beberapa konsekuensi
dari revisi ijtihad seorang mujtahid ini, berkaitan dengan amaliyah
keseharian, aktivitas fatwa dan putusan peradilan. Misalnya, seorang mujtahid
yang memberikan fatwa dengan suatu hukum atau menjatuhkan putusan tertentu di
antara dua pihak yang bersengketa, kemudian setelah menemukan dalil-dalil lain
yang menurutnya lebih argumentatif, mujtahid atau hakim tersebut berubah
pikiran, berbeda dengan pendapat sebelumnya.
Akankah pendapat terakhir harus dijadika pegangan, ataukah pendapat
awal? Ada pemilahan mengenai hal ini,
antara statusnya sebagai hakim atau sekedar sebagai mujtahid.
Bila ia hanya seorang
mujtahid, bukan hakim, yang harus dijadikan pegangan adalah pendapat
terbarunya, karena adanya perubahan pendapat tentu berdasarkan dalil yang
dianggap lebih argumentatif atau metode penyimpulan yang dirasanya lebih
akurat. Karenanya, kesimpulan hukum
terbarulah yang diamalkan. Misalnya,
seorang mujtahid yang memiliki pendapat keabsahan nikah tanpa wali, menikah
dengan seorang perempuan tanpa wali. Selang beberapa waktu kemudian, ia berubah
pendapat bahwa akad nikah tidak sah tanpa menyertakan wali. Maka dia harus
segera berpisah dengan isterinya tersebut, karena menurut anggapan terbarunya,
akad nikah yang pernah dilakukannya tidak sah.
Hal ini bila tidak ada sangkut-pautnya dengan putusan hakim. Artinya, bila hakim telah memutuskan
keabsahan nikah sebelum mujtahid berubah pendapat, maka perubahan pendapat
mujtahid tidak berpengaruh apapun.
Karena putusan hakim tidak dapat diganngu gugat.
Kemudian jika status
mujtahid adalah sebagai hakim, bagaimana jika pendapatnya berubah, berbeda
dengan pendapat pertama? Mengingat
adanya keterkaitan putusan hakim pertama yang tidak sedikit konsekuensinya,
maka putusan hakim dalam menyelesaikan sebuah persengketaan dengan acuan hasil
ijtihad pertama tidak dapat dibatalkan dengan munculnya pendapat terbaru. Karena dengan pembatalan putusan
hakimstabilitas hukum syara’ akan terganggu, dan akan menimbulkan
ketidakpercayaan publik akan putusan-putusan hakim. Dan ini bertentangan dengan kemaslahatan dan
tujuan ditegakkannya peradilan. Karena
peradila ditegakkanuntuk menyelesaikan segala persengketaan. Jika sebuah putusan dibatalkan, maka pembatalan
putusan itu bisa jadi dibatalkan dengan putusan yang lain, dan demikian
seterusnya. Akibatnya, timbullah
instabilitas hukum, tidak adanya rule of law (kepastian hukum), dan
tentunya persengketaan akan terus berlangsung, pertikaian senantiasa terjadi.[5]
[1] Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari, Shahih al Bukhori (al
Maktabah as Syamilah), juz 6 hal: 2676
[2] Muhammad Bin Ali Bin
Muhammad Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilmi Al-Ushul, Juz
II, hal 235 (maktabah syamilah)
[3]Forum Karya Ilmiah PP. Lirboyo, Kilas Balik
Teoritis Fiqh Islam (Kediri: Purna Siswa Aliyah MHM. PP. Lirboyo, 2004),
359.
[4]Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Damaskus:
Dar Al-Fikr), 1114.; Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, IlmuUshul Fikih, (Jakarta:
Pustaka Amani), 324.
[5] Forum Karya Ilmiah PP.
Lirboyo, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam (Kediri: Purna Siswa Aliyah
MHM. PP. Lirboyo, 2004), 360.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar