twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Selasa, 16 September 2014

PEMBATALAN DAN REVISI IJTIHAD

PENDAHULUAN
 Kita telah mengetahui bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Meski Al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits.  Dan seiring berjalannya zaman, permasalahan-permasalahan dan problematika kehidupan yang dihadapi umat islam pun kian berkembang. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji, apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits itu.  Namun, jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka pada saat itulah umat Islam memerlukan ketetapan ijtihad yang dilakukan oleh para ‘ulama yang keilmuannya sudah mencapai kapasitas seorang mujtahid.
Jika kita menilik sejarah, maka dapat diketahui bahwa ijtihad pada dasarnya telah muncul sejak periode awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad SAW, dan kemudian berkembang pada periode para sahabat dan tabi’in serta generasi selanjut­nya hingga kini dan mendatang dengan mengalami pasang surut yang signifikan sesuai dengan tuntutan zaman.  Bahwa ijtihad itu telah ada sejak zaman Rasulullah SAW dapat kita ketahui dari riwayat ‘Amr bin ‘Ash berikut ini:
حدثنا عبد الله بن يزيد المقرئ المكي حدثنا حيوة بن شريح حدثني يزيد بن عبد الله بن الهاد عن محمد بن إبراهيم بن الحارث عن بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص عن عمرو بن العاص: أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر )[1]
“Apabila seorang hakim hendak menetapakan suatu hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya maka untuknya satu pahala”.
Dalam makalah ini penyusun mencoba memaparkan pembahasan-pembahasan yang lebih mengarah pada persoalan bagaimana bila ijtihad yang telah ditetapkan oleh seorang mujtahid direvisi bahkan dibatalkan. Penyusun juga memaparkan tentang dualisme pendapat dari seorang mujtahid yang dilakukan terhadap suatu permasalahan dalam satu waktu.  Karena bukan tidak mungkin hasil ijtihad yang telah ditetapkan akan mengalami perubahan dan perombakan, seiring dengan problematika yang muncul di tengah-tengah umat.
  1. Bagaimana hukumnya seorang mujtahid mencetuskan dua pendapat dalam satu waktu terhadap satu permasalahan?
  2. Bagaimana hukumnya seorang mujtahid merevisi ijtihadnya?
  3. Bagaimana hukumnya seorang mujtahid membatalkan ijtihadnya?
  1. Mengetahui hukumnya seorang mujtahid yang berpendapat dalam satu waktu terhadap satu permasalahan.
  2. Memahami hukumnya merevisi ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid.
  3. Memahami hukumnya pembatalan ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid.



Hasil ijtihad yang telah ditetapkan oleh seorang mujtahid memungkinkan akan adanya revisi bahkan pembatalan.  Hal ini terjadi karena ada beberapa faktor yang seakan mengharuskan para mujtahid untuk merevisi pendapat mereka dan juga me­rombak ketetapan mereka.  Sebelum melangkah lebih jauh tentang pem­bahasan ini, alangkah baiknya bila terlebih dahulu dikemukakan pendapat para ulama’ mengenai hukum ta’addud qaul al-mujtahid (dualisme pendapat mujtahid) dan taghoyyur al- ijtihad (revisi ijtihad).  Dengan kata lain, bolehkah seorang mujtahid mencetuskan dua pendapat dalam satu permasalahan dalam waktu yang sama? Bolehkah pula me­lakukan revisi ijtihad?

2.1.1 Ta’addudu Qaul Al-Mujtahid (Dualisme Pendapat Mujtahid)

Seorang mujtahid tidak diperbolehkan  mencetuskan dua hukum yang berbeda pada satu permasalahan dalam waktu yang sama, karena satu sama lain akan terjadi pertentangan dan pembatalan.  Di samping itu, seandainya dalil-dalil yang dijadikan pijakan memiliki kekuatan yang sama dan tidak ada jalan untuk kompromi, juga tidak mungkin untuk dilakukan tarjih, maka mujtahid tidak diper­bolehkan memberikan fatwa dengan dalil-dalil tersebut, karena dalil-dalil yang ada saling kontradiktif dan berkekuatan hukum yang sama. Jika ia mampu meng­kompromikan dalil-dalil yang kontradiktif tersebut maka itulah yang harus dilaku­kan. Apabila salah satunya lebih akurat daripada yang lain, maka pendapat itulah yang harus diadopsi sebagai penetapan hukumnya.[2]
Lantas bagaimana dengan Imam Al-syafi’i, seorang Imam mujtahid ter­nama yang telah disepakati kapasitas keilmuannya yang ternyata juga berpendapat ganda dalam menyikapi lebih dari 17 permasalahan? Dualisme pendapat imam pendiri madzhab ini bisa diarahkan pada beberapa kemungkinan.  Pertama, ada kemungkinan beliau hanya menyampaikan pendapat-pendapat ulama’ terdahulu untuk menunjukkan bahwa dalam permasalahan tersebut tidak terjadi ijma’.  Dengan demikian, sebenarnya Imam Al-Syafi’i tidaklah mengeluarkan pendapat ganda.  Kedua, barangkali pendapat ganda yang dikeluarkan Imam Al-Syafi’i hanyalah sekedar menjelaskan  adanya kebebasan ontuk memilih di antara dua hukum dalam sebagian kasus, atau barangkali menjelaskan keraguan Imam Al-Syafi’i terhadap hukum-hukum yang telah ia cetuskan.  Seperti keraguan beliau dalam permasalahan basmalah, apakah termasuk awal setiap surat atau bukan? Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak diperbolehkan menisbat­kan pendapat ganda tersebut kepada Imam Al-Syafi’i, demikian diungkapkan Al-Amudi.
Jika demikian, yang harus dilakukan adalah tashhih, semisal ungkapan Al-Syafi’i “fi al-mas’alah qaulani” (dalam masalah ini terdapat dua pendapat) di­arah­kan pada suatu kondisi bahwa dalam suatu permasalahan, beliau menemukan dua dalil yang saling bertentangan dan tidak mungkin untuk dilakukan tarjih.  Karenanya, maksud dari pendapat ganda yang dikeluarkan mujaddid abad kedua ini adalah adanya dua ihtimal (kemungkinan untuk diarahkan pada penyelesaian dengan salah satu dalil).
Pembahasan mengenai pendapat ganda yang dilakukan seorang mujtahid ini, hanya berlaku ketika terjadi di waktu yang sama.  Jika dualisme pendapat ter­sebut muncul dalam waktu yang berbeda, maka penyelesaiannya mudah, artinya pendapat kedua diposisikan sebagai pembatah atas pendapat yang pertama.  Dan pendapat kedua inilah yang dijadikan acuan hukumnya.  Dan pendapat pertama dianggap telah dicabut, (ini didasarkan pada kebolehan mencabut hasil ijtihad).  Ketentuan ini tentunya jika di antara dua pendapat telah diketahui mana yang lebih dahulu, maka tindakan yang harus diambil ialah menisbatkan salah satu pen­dapat tersebut kepada seorang mujtahid dan menganggap pendapat yang lain telah dicabut. Namun, dalam keadaan seperti ini kedua pendapat tersebut tidak boleh untuk diamalkan, karena ada kemungkinan pendapat yang diamalkan justru merupa­­­kan pendapat yang telah dicabut.[3]

2.1.2 Taghoyyur Al-Ijtihad (Revisi Ijtihad)

Kemungkinan mengenai taghoyyur al-ijtihad (revisi ijtihad), bolehkah ini terjadi pada diri seorang mujtahid? Dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa aktivitas ijtihad tidak dapat terlepaskan dari argumentasi dan dalil, dan ketika seorang mujtahid menemukan bukti-bukti baru yang lebih akurat, semestinya bukti baru itulah yang harus dijadikan sebagai acuan pemutusan hukumnya. Maka revisi ijtihad adalah hal yang lumrah terjadi pada diri seorang mujtahid.  Pandangan ini diperkuat oleh surat Umar bin Al-Khattab kepada penguasa Kufah, Abu Musa Al-‘Asy’ari.  Dalam surat tersebut Umar berpesan, “janganlah keputusanmu saat ini menghalangimu untuk melakukan peninjauan ulang.. semoga engkau medapatkan tuntutan pada sebuah petunjuk kebenaran.  Sesungguhnya kebenaran telah ada terlebih dahulu, dan kembali kepada kebenaran adalah lebih baikdaripada melanggar kebatilan”.[4]  Dari sini, jelaslah bahwa revisi ijtihad adalah hal yang diperbolehkan bagi seorang mujtahid.

2.1.3 Pembatalan Ijtihad

Paparan singkat di atas adalah revisi ijtihad dalam tataran wacana.  Jika hal itu terjadi dalam tataran praktik, ada beberapa konsekuensi dari revisi ijtihad seorang mujtahid ini, berkaitan dengan amaliyah keseharian, aktivitas fatwa dan putusan peradilan. Misalnya, seorang mujtahid yang memberikan fatwa dengan suatu hukum atau menjatuhkan putusan tertentu di antara dua pihak yang bersengketa, kemudian setelah menemukan dalil-dalil lain yang menurutnya lebih argumentatif, mujtahid atau hakim tersebut berubah pikiran, berbeda dengan pendapat sebelumnya.  Akankah pendapat terakhir harus dijadika pegangan, ataukah pendapat awal?  Ada pemilahan mengenai hal ini, antara statusnya sebagai hakim atau sekedar sebagai mujtahid.
Bila ia hanya seorang mujtahid, bukan hakim, yang harus dijadikan pegangan adalah pendapat terbarunya, karena adanya perubahan pendapat tentu berdasarkan dalil yang dianggap lebih argumentatif atau metode penyimpulan yang dirasanya lebih akurat.  Karenanya, kesimpulan hukum terbarulah yang diamalkan.  Misalnya, seorang mujtahid yang memiliki pendapat keabsahan nikah tanpa wali, menikah dengan seorang perempuan tanpa wali. Selang beberapa waktu kemudian, ia berubah pendapat bahwa akad nikah tidak sah tanpa menyertakan wali. Maka dia harus segera berpisah dengan isterinya tersebut, karena menurut anggapan terbarunya, akad nikah yang pernah dilakukannya tidak sah.  Hal ini bila tidak ada sangkut-pautnya dengan putusan hakim.  Artinya, bila hakim telah memutuskan keabsahan nikah sebelum mujtahid berubah pendapat, maka perubahan pendapat mujtahid tidak berpengaruh apapun.  Karena putusan hakim tidak dapat diganngu gugat.
Kemudian jika status mujtahid adalah sebagai hakim, bagaimana jika pendapatnya berubah, berbeda dengan pendapat pertama?  Mengingat adanya keterkaitan putusan hakim pertama yang tidak sedikit konsekuensinya, maka putusan hakim dalam menyelesaikan sebuah persengketaan dengan acuan hasil ijtihad pertama tidak dapat dibatalkan dengan munculnya pendapat terbaru.  Karena dengan pembatalan putusan hakimstabilitas hukum syara’ akan terganggu, dan akan menimbulkan ketidakpercayaan publik akan putusan-putusan hakim.  Dan ini bertentangan dengan kemaslahatan dan tujuan ditegakkannya peradilan.  Karena peradila ditegakkanuntuk menyelesaikan segala persengketaan.  Jika sebuah putusan dibatalkan, maka pembatalan putusan itu bisa jadi dibatalkan dengan putusan yang lain, dan demikian seterusnya.  Akibatnya, timbullah instabilitas hukum, tidak adanya rule of law (kepastian hukum), dan tentunya persengketaan akan terus berlangsung, pertikaian senantiasa terjadi.[5]



[1] Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari, Shahih al Bukhori (al Maktabah as Syamilah), juz 6 hal: 2676
[2] Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilmi Al-Ushul, Juz II, hal 235 (maktabah syamilah)
[3]Forum Karya Ilmiah PP. Lirboyo, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam (Kediri: Purna Siswa Aliyah MHM. PP. Lirboyo, 2004), 359.
[4]Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Damaskus: Dar Al-Fikr), 1114.; Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, IlmuUshul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani), 324.
[5] Forum Karya Ilmiah PP. Lirboyo, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam (Kediri: Purna Siswa Aliyah MHM. PP. Lirboyo, 2004), 360.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar